BAB 26

20 2 8
                                    

Gilang melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Suasana di mobil saat ini hening, sunyi, sepi, senyap membuat Abel merasa bosan. Ingin rasanya berbicara tapi tidak tau apa yang akan dibicarakan. Akhirnya dipegangnya pundak Gilang dengan lembut.

"Kenapa?", tanya Gilang yang mengetahui maksud Abel untuk bertanya.

"Gue nyalain radio boleh?", izin Abel seraya menarik kembali tangannya ke posisi yang seharusnya. Gilang terkekeh sambil menjawab,
"Nyalain aja kali. Kenapa harus izin sih?!". Abel menggaruk tengkuknya sambil menahan malu. Ditekannya tombol on yang ada ditape radio tersebut. Mulai terdengar musik mengalun indah. Dinikmatinya setiap bunyi yang keluar oleh Abel.

"Kalo mau ganti salurannya, ganti aja. Ga perlu pake izin", sahut Gilang dengan nada yang datar. Abel mengangguk sebagai balasannya. Sampai akhirnya saluran radio tersebut mengganti lagunya.

Terakhir kutatap mata indahmu di bawah bintang-bintang...

Mata Abel dan Gilang saling beradu. Mereka menyadari lagunya sudah beralih menjadi mellow. Namun tidak ada yang membuka suara sampai akhirnya mereka memalingkan muka masing-masing.

Terbelah hatiku antara cinta dan rahasia.
Kucinta padamu, namun kau milik sahabatku. Dilema...
Hatiku, andai ku bisa berkata sejujurnya...

"Em.. Bel. Gue boleh nanya nggak? Terserah juga sih kalo lo anggep gue kegeeran nantinya", ucap Gilang sambil nyengir-nyengir tak berdosa.

"Tanya apaan?", jawab Abel entengnya. Gilang mulai gusar. Ia masih belum yakin akan menanyakan hal itu kepada Abel. Pasalnya, dia tau pertanyaan ini ada sangkut pautnya dengan hati dan perasaan Abel. Melihat Gilang yang tak kunjung bertanya, akhirnya terpaksa Abel harus mengingatkannya.

"Katanya mau nanya? Nanya apa?", tanya Abel yang menjadi lembut. Gilang akhirnya tersadar.

"Emang.. emang bener ya sahabat lo itu suka sama gue?", tanya Gilang sambil mengetuk stir mobil. Ia cemas kalau Abel akan berpikir dirinya terlalu berharap. Padahal, yang Gilang maksudkan untuk bertanya bukan itu.

"Oh Rahel maksud lo? Kalo Rahel sih emang suka sama lo. Tapi itu dulu sekarang udah enggak sih", jawab Abel. Gilang bisa bernafas lega. Ternyata saat ini tidak ada yang menganggu pikirannya lagi.

"Terus kalo lo?", ujar Gilang yang sejujurnya tidak ingin mengucapkan itu.
"Gue? Maksudnya?", Abel terlihat sangat bingung. Namun, bodohnya Gilang. Ia kecolongan lagi.
"Lo suka ga sama gue?".

Deg. Abel merasa tubuhnya membeku. Saat ini tubuhnya sangat dingin dan kaku. Tidak ada yang bisa terucap lagi. Ingin sekali rasanya membohongi perasaan, tapi bukan kah itu menyakitkan?

"Ga tau gue. Liat aja entar", jawaban Abel benar-benar penuh misteri. Pasalnya, jawaban itu sangat mengganjal. Sama sekali tidak ada kejelasan disetiap katanya. Gilang yang berusaha mencerna pun tidak dapat mengetahui maksud itu. Namun kali ini, Gilang tidak ingin kelepasan lagi. Ia tidak bertanya apa maksud dari jawaban Abel. Anggap saja itu hanya sebuah jawaban menggantung yang tidak perlu dijelaskan lagi. Gilang menambah kecepatan mobilnya.

Sampai juga akhirnya di bandara. Gilang menoleh ke kanan dan kiri. Gilang mencari adiknya yang baru saja pulang dari Singapura karena memang adik Gilang bersekolah disana. Namun, sedari tadi matanya mencari tidak ketemu juga. Akhirnya, Gilang memutuskan menghubungi adiknya. Diambilnya handphone yang sedari tadi disakunya. Gilang pun menelpon sang adik. Abel yang tidak tau juga, diam selagi melihat Gilang menempelkan handphonenya ditelinga.

"Lo dimana?"

"..."

"Cepet kesini!"

"..."

"Gue di depan loket! Buruan!". Gilang mengakhiri perbincangannya dan menatap Abel yang tanpa sadar melihat Gilang dari tadi.

"Awas jangan liat-liat gitu entar naksir loh", ejek Gilang sambil tertawa. Abel yang merona pipinya memukul pundak Gilang karena salah tingkah. Sangking gemasnya dengan tingkah cewek di depannya, Gilang mencubit pipi Abel. Abel memanyunkan bibirnya seraya mengusap pipinya yang kelihatannya sakit.

"Sakit ya? Maafin gue. Abisnya lo gemesin banget sih", ucap Gilang merasa bersalah namun masih disertai gombalan recehnya. Perhatian Gilang beralih kepada anak laki-laki yang berlari ke arahnya. Diamatinya baik-baik anak itu. Dan ternyata itu Gio, adik Gilang.

"Lama banget sih", bukannya sambutan selamat datang, Gilang malah berkata sinis kepada adiknya itu.

"Yee lo aja yang jemputnya kejauhan. Pesawat gue berhentinya disana!", bantah Gio sambil mengarahkan  jari telunjuknya ke tempat yang dimaksud. Tanpa basa-basi akhirnya Gilang langsung mengajak adiknya dan Abel ke tempat mobilnya terparkir. Sampai juga mereka bertiga disana. Semuanya pun masuk mobil. Semua terdiam. Tidak ada yang membuka suara untuk sekedar basa-basi.

"Gilang, nama adek lo sapa?", tanya Abel memecah keheningan. Gio yang mendengar itu langsung menyahut dengan cepat.
"Nama aku Gio kak", sahut Gio diikuti cengiran isengnya. Gio mengulurkan tangannya dan dibalas dengan Abel.
"Kamu kelas berapa?", tanya Abel lagi hanya sekedar ingin berkenalan.
"Kelas8 kak. Kakak ini pacarnya kak Gilang?", Gilang yang mendengar itu pun merasa malu. Telinganya rasanya panas, tangannya juga gatal ingin menoyor adiknya tersebut.

"Orang itu kalo kenalan nanyanya nama dulu. Eh ini langsung nyelonong aja", omel Gilang yang sedang menahan tangannya agar tidak menoyor Gio di depan Abel.

"Oiya lupa! Nama kakak sapa?", akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Abel bernafas lega karena tidak harus menjawab pertanyaan Gio yang sebelumnya.

"Nama kakak Abel", dengan senyum tulusnya Abel menjawab pertanyaan adik Gilang yang sangat polos itu. Dibalas pula dengan senyuman Gio. Gilang mendengus kesal melihat tingkah Abel dan Gio yang sepertinya makin akrab. Mereka pun menuju rumah Gilang kembali. Memang sengaja tidak mampir kemana-mana karena mama Gilang sendiri melarangnya untuk pergi terlalu lama. Memang Gilang anak yang patuh.

Hospital (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang