Juli 2004
Aku kenal anak laki-laki yang baru saja masuk kedalam bus. Aku hafal dengan bentuk hidungnya yang mancung, rambut hitam lurus tebalnya dan alisnya yang tajam. Namanya Bima, ia teman SDku. Mata Bima langsung tertuju kearahku begitu bus mulai berjalan. Bima kelihatan asing karena ia memakai seragam putih biru bukannya seragam putih hijau tua yang selama ini kulihat ia pakai. Tanpa sengaja aku membaca bet nama sekolahnya, SMP 2. Aku tidak tau kalau kami satu sekolah lagi. Selama ini, Bima tidak pernah bilang kemana ia akan melanjutkan sekolah padaku. Sekarang Bima tidak punya pilihan lain selain berdiri disampingku dalam bus yang penuh sesak. Sewaktu Bima didekatku, aku mencium aroma manis mirip permen menguar darinya. Wah kemajuan, Bima yang kukenal tidak pernah memakai minyak wangi.
"Bima, baumu mirip permen." Gumamku setengah melamun.
Bima menoleh, keningnya berkerut dan jarinya bergerak gelisah. Lalu apa yang ia katakan? Ia mengejek wajahku jelek sambil memalingkan wajah. Aku bengong, seumur-umur aku mengenalnya, Bima tidak pernah mengejekku. Bima bukan anak yang suka mengejek. Aku juga belum pernah diejek jelek sebelumnya. Ejekan paling mentok yang pernah kuterima yaitu si pendek (karena badanku memang pendek). Selain itu, paling-paling orang memanggilku tauge berjalan (karena pipiku tembam padahal badanku kecil). Tentu saja aku tidak marah kalau diejek, hm, sebetulnya aku kan hampir tidak pernah marah.
Batal sudah keinginanku menanyakan alasan Bima masuk SMP 2. Soalnya selain memalingkan wajah sekarang Bima juga cemberut. Bukannya aku takut Bima cemberut tapi aku tau, kalau Bima memalingkan wajah artinya ia tidak mau bicara.
Sejak pertama kali bertemu dengannya, Bima memang selalu cemberut sih. Bima pindah kesekolahku diawal kelas 6. Ia terpaksa duduk disebelahku karena aku satu-satunya anak yang tidak punya teman sebangku. Ia pasti tidak suka punya teman sebangku anak perempuan. Apalagi dihari ia pindah kesekolahku, aku sedang sakit. Tanpa sengaja aku muntah di meja, menciprati baju seragam Bima. Bima reflek memundurkan kursinya tapi karena terburu-buru ia malah jatuh.
Pokoknya keadaan kacau sekali hari itu. Aku ingat sehabis muntah, aku terlalu teler sampai lupa minta maaf. Baru dua hari kemudian (saat aku sudah kembali sehat dan berangkat sekolah) aku minta maaf padanya. Mendengarku minta maaf, Bima hanya mengangguk. Aku tidak yakin ia sungguh-sungguh memaafkanku, soalnya beberapa detik kemudian Bima membuka mulutnya kemudian buru-buru mengatupkannya lagi. Sepertinya ia masih kesal.
Masalahnya diwaktu itu pikiranku malah terfokus ke hal lain. Fokus pada daun bayam yang menempel di gigi Bima. Dengan bodohnya aku menunjuk gigi Bima sambil bergumam, "Ada bayamnya tuh." Wajah Bima langsung merah padam. Aku ingat ekspresi wajahnya waktu itu, seperti ingin membelehku. Tentu saja sebagai akibatnya, Bima tidak mau bicara padaku.
Sebetulnya Bima tidak mau bicara pada semua orang pada awalnya. Sejak awal kedatangannya, Bima jarang bicara. Ia juga nyaris tidak pernah tersenyum apalagi tertawa.
Pembawaannya yang bikin segan membuat beberapa anak dikelas jadi takut atau jengkel padanya. Beberapa siswa yang cukup berani, nekat untuk mengolok-ngolok Bima. Berhubung Bima nggak jelek, badannya tidak pendek, dan ia tidak bego maka tidak banyak hal yang bisa diejek dari Bima. Tapi ada satu kelemahannya, Bima duduk disamping anak perempuan, aku. Maka sejak awal duduk semeja, kami langsung jadi bahan ledekan. Anak-anak sekelas memanggil kami pasangan pengantin baru.
Mereka tambah gatal mengolok-ngolok tiap kali guru meminta semua anak untuk kerja sama mengerjakan soal dengan teman sebangku masing-masing. Aku tidak tau siapa yang lebih tidak suka dijadikan bahan olok-olokan, aku atau Bima. Tapi setelah kupikir-pikir, sepertinya Bima. Soalnya setiap diperolok Bima langsung marah.
Bima memang mudah marah. Ia bisa marah hanya gara-gara kursinya tertendang oleh anak dimeja belakangku atau sepatunya terinjak. Kadang aku sampai tidak ngerti kenapa Bima bisa marah hanya gara-gara hal sepele begitu.
Setiap kali marah, Bima tidak pernah ngamuk atau ngajak bertengkar paling hanya diam membisu dengan wajah seram. Kadang, kalau ia sedang maraaaah sekali, Bima bisa sampai mematahkan penggaris atau pensilnya. Penggarisku juga pernah dia patahkan sekali! Aku kaget melihat penggaris kesukaanku dipatahkannya jadi dua.
Aku ingin marah! Ingin marah sekali! Bodohnya, aku malah nyengir dengan kaki gemetaran takut saat Bima bukannya minta maaf padaku tapi malah mendelik
Aku ingat suatu hari, sewaktu pelajaran olahraga. Anak sekelas ditugaskan untuk lari 15 kali memutari lapangan. Seingatku Bima terjatuh waktu sedang berlari. Karena aku berlari paling dekat dengannya, otomatis aku berhenti untuk menolong. Bukannya senang karena ditolong, Bima malah dengan marah mendorongku yang berjongkok disebelahnya hingga jatuh. Sikutku lecet karena aku jatuh diatas ditanah berpasir dan berkerikil. Bima sepertinya kaget dengan tindakannya sendiri, ia buru-buru menarik lenganku.
Saat Bima menarik lenganku, secara reflek aku menanyakan apa Bima tidak kenapa-napa. Baru kali itu aku melihat wajah Bima tampak bersalah. Ia bahkan tidak melemparkan pandangan seram walaupun saat itu kami jadi bahan tontonan dan diolok-olokan anak sekelas.
Mungkin sejak itu, sikap Bima sedikit berubah. Sebelumnya kalau Bima sedang marah lalu kupandangi, Bima akan mengalihkan pandangan atau tambah marah. Setelahnya, setiap kupandangi Bima langsung mengendurkan ekspresi seramnya. Sebetulnya aku tau kalau Bima tidak suka kalau kupandangi apalagi saat ia sedang marah.
Ternyata dibalik wajahnya yang galak itu, Bima cukup baik. Setidaknya ia tidak suka ngejek atau menggangguku seperti sering dilakukan anak laki-laki lain. Waktu kukatakan pada Bima, kalau menurutku Bima orang yang baik. Mulut Bima langsung melengkung turun. Mana aku tau kalau ia benci dipuji.
Aku tidak tau sejak kapan tepatnya Bima mulai berbicara padaku, tidak sering sih tapi itu sudah kemajuan besar dibanding dulu. Menurutku Bima lebih pendiam dibanding aku. Bima tidak pernah membicarakan kehidupan sehari-harinya.
Jadi, selain soal pelajaran, kami nyaris tidak pernah bicara. Baru kalau aku sangaaat bosaaan sekali, aku lah yang bicara (itu juga sangat jarang terjadi). Walaupun sambil cemberut, setidaknya Bima mau mendengar. Gimanapun, mau tidak mau kami jadi teman sebangku selama satu tahun. Tentu kami tidak jadi teman dekat walaupun sama-sama pendiam dan penyendiri. Bedanya sekalipun aku penyendiri, hubunganku dengan orang sekitarku baik, sementara Bima bisa dibilang temannya hanya aku.
Kalau Bima mulai diejek tidak punya teman oleh Aldo, anak paling nakal dikelas kami, aku akan diam-diam bilang padanya, aku kan temanmu. Kalau sudah kubisiki seperti itu, wajah Bima langsung kecut.
Sepertinya dikamusnya anak perempuan tidak bisa dikategorikan sebagai teman. Kadang Bima malah balik protes, kenapa aku tidak pernah marah sekalipun Aldo juga suka menggangguku. Yah memang Aldo suka mengganggu dengan menyembunyikan barang-barangku, tapi toh barangku pasti ketemu lagi. Buat apa marah? Kalau aku marah bukannya Aldo makin getol mengganggu? Setelah kujelaskan, Bima memandangku seperti aku habis diculik alien. Saat mendekati hari kelulusan, kukatakan saja padanya, Bima jangan gampang marah. Sewaktu aku bicara, Bima memalingkan wajahnya, tapi kurasa ia mendengarkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...