November
Tanpa komando jantung Bima berhenti sesaat saat menemukan nama Nana di daftar anggota OSIS yang baru. Bima tidak tau apa ia harus senang atau jengkel dengan fakta ini. Bima tidak suka efek yang ditimbulkan ketika Nana berada di dekatnya. Masalahnya, ia juga tidak suka jauh-jauh dari Nana. Ia tidak suka tidak melihat Nana selama berhari-hari.
Bima tidak melihat Nana hadir di pertemuan pertama keanggotaan OSIS. Bima tau Nana kemungkinan besar memang akan sering absen dari pertemuan. Bima kenal Nana. Anak seperti Nana pasti tidak suka mengikuti organisasi. Kenyataan kalau Nana mau masuk eskul PMR saja sudah membuat Bima heran.
Terkadang di tengah kegiatan eskul taekwondonya Bima melihat Nana duduk di tengah lapangan berlatih gerakan pertolongan pertama dari aula terbuka.
Hanya itu, hanya melihat. Bima tidak akan menyapa atau mengajak ngobrol Nana.
Yang paling penting, Bima lebih tidak suka kalau Nana sampai sedikit saja menyinggung soal eskul yang di ikuti Bima.
BUKAN KARENA NANA, Bima mengulang-ulang hal itu dalam pikirannya berkali-kali, Bukan karena Nana Bima masuk eskul taekwondo.
Kali kedua pertemuan OSIS, Bima melihat Nana di paksa maju kedepan podium. Tanpa persiapan Nana pidato tidak karu-karuan soal penangkaran kambing di podium sementara Bima mati-matian menahan diri supaya tidak menarik Nana turun dari panggung. Akibatnya, isi pidato Nana jadi bahan tertawaan selama berhari-hari.
Nana memang ajaib dan isi pidatonya MEMANG aneh. Tapi Bima tidak bisa terima orang lain juga tau Nana aneh.
Puncaknya, Bima melihat Nana terjatuh saat berlari menghindari siswa-siswa yang meledeknya.
Melihat darah mengucur dari hidung Nana membuat Bima kesal. Kenapa Nana harus jatuh? Kenapa harus berdarah?
Bima tidak suka ia hanya bisa melempar hasduknya dengan marah sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa. Harusnya Bima memukul, membanting, melempar orang yang mengganggu Nana. Tapi Bima tidak bisa. Bima betul-betul tidak bisa berekspresi. Apalagi menunjukkan ekspresi kalau ia peduli dan tidak suka Nana di ganggu di depan semua orang.
Lebih jengkel lagi ketika menutup teleponnya ke Nana malam itu. Menjengkelkannya, ia betul-betul khawatir. Sampai perasaannya betul-betul tidak enak. Seperti orang lemah. Seperti kalah telak.
Kalah dari anak perempuan yang sukanya nyanyi sendiri? Memalukan.
Sampai kapan ia menghindari kelemahannya? Mungkin kelemahannya harus di hadapi. Toh ia tidak benar-benar harus peduli.
Desember
Bima tidak bisa berkonsentrasi melakukan gerakan taekwondo karena Nana tidak berhenti menatapnya. Ia paling tidak tahan di pandangi Nana. Bima sudah mau protes di akhir kegiatan ekstrakulikulernya tapi Nana keburu lari pergi menerobos hujan.
Bima menghela nafas cukup keras sampai bisa di dengar beberapa orang di dekatnya.
Reflek Bima berlari mengejar. Nana berlari tersandung-sandung kakinya sendiri hingga ke halte. Bodohnya, begitu sampai di halte, Nana malah berdiri di dekat palang pembuangan air kotor.
"Kenapa berdiri disana?" Gerutu Bima sambil menarik Nana menjauh dari cipratan air.
Nanti pilek.
Nana mendongak dengan ekspresi lucu.
"Kan kotor." Tegas Bima sementara Nana terus menatapnya.
Tatapan mata Nana lagi-lagi mengirimkan sensasi bergejolak di perut Bima. Sensasi mengganggu yang sama seperti yang dirasakannya sewaktu eskul taekwondo tadi. Tanpa sadar Bima mendorong Nana sampai nyaris terjatuh.
"Gimana kalau aku jatuh?" Protes Nana.
"Maaf." Ujar Bima spontan. Jantung Bima terpacu karena kaget dan ia geli sendiri mendengar kata maaf terucap dari mulutnya. Sudah lama rasanya Bima tidak menggunakan kata maaf. Rasanya asing di kuping. Membuatnya merasa aneh. Dengan polosnya Nana malah langsung mengangguk memaafkannya. Seketika ingatan Bima kembali ke masa lalu. Ingat kebodohan-kebodohan yang pernah Nana lakukan. Ingat kalau Nana sejak dulu terlalu gampang memaafkan orang. Bima tidak tahan untuk tidak protes, semuanya. Seperti biasa, Nana hanya diam saja mendengarkan protesnya. Masalahnya, semakin panjang isi protes Bima semakin lucu ekspresi Nana.
Kenapa ekspresi Nana malah tambah lucu begitu? Bima menggertakan gigi. Kenapa ekspresi Nana tidak pernah membuatnya jengkel? Jadi Bima punya alasan untuk berhenti sedikit peduli."Sebetulnya apa menariknya kamu?" Protes Bima lebih ke dirinya sendiri.
Nana malah tanya balik, "Kalau menurut Bima aku menarik mananya?"
Mata Bima terbelalak. Kaget ditimpa pertanyaan seperti itu. Sampai satu-satunya yang bisa di lakukan Bima selanjutnya hanya mendelik. Berusaha membuat dirinya tampak mengancam supaya Nana tidak tanya-tanya lagi. Tapi Bima tidak bisa tidak peduli. Anak perempuan seperti Nana yang nggak sadar hidungnya meler dan nekat hendak duduk di samping preman? Gimana Bima bisa berhenti peduli?
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Fiksi RemajaSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...