Desember 2018-5

2.6K 430 13
                                    

Bima berjalan maju satu langkah ke depanku padahal dia belum kupersilahkan masuk. Bima besar dan tinggi sekali. Bahkan tinggi maksimalku hanya sampai lima senti di bawah bahu Bima.

Aku mematung. Semua bagian badanku kaku. Rasanya seperti mimpi tapi dimimpiku saja Bima tidak akan pernah kembali. Aku jadi bertanya-tanya seperti kemarin sewaktu aku pertama kali melihat Bima lagi setelah sebelas tahun. Apa memang Bima pengacara pak Herman atau kebetulan pengacaranya bernama dan berwajah sama seperti Bima?

"Siapa ya?" Ujarku bodoh saking tidak percayanya Bima yang asli yang menghilang bertahun-tahun lalu tiba-tiba muncul di apartemenku.

Bibir Bima merengut dan dia langsung tampak jahat. Aku kenal betul ekspresi jahat itu. Mau tidak mau aku mengakui orang yang kemarin dan yang sekarang di depanku memang Bima yang kukenal.

Bima maju lagi satu langkah dan aku mundur lagi. Aku ingin marah. Ingin sekali. Banyak alasan untukku marah, tapi otakku terlanjur eror karena banyak pikiran dan aku tidak punya persiapan menghadapi kejadian semacam ini. Menyebalkannya, aku masih juga tidak bisa marah. Jenis marah yang mendelik, teriak-teriak dan masang wajah seram itu.

Seandainya Bima muncul setahun setelah ia menghilang, mungkin aku bisa marah-marah jenis itu. Tapi Bima muncul sebelas tahun kemudian dan kemarahanku terlanjur kadaluwarsa. Bertahun-tahun aku sedih, marah jengkel, kecewa, tapi sudah lama pula aku menerima Bima menghilang dan hidupku berlanjut. Walaupun kenyataannya aku tidak pernah betul-betul bisa melupakan Bima.

Tapi tunggu, bukannya Bima salah satu alasan kenapa aku dipecat? Pikirku mendadak jengkel. Sayangnya mulutku bukannya cemberut malah melongo. Tapi ada untungnya juga aku segera di pecat. Aku menggaruk pucak kepalaku bingung. Tapi ya sudahlah kalau aku memang tidak bisa tampak frontal marah. Toh mau kelihatan marah atau tidak, hubungan pertemananku dengan Bima sudah lama berakhir.

Serta merta aku berusaha mendorong Bima keluar dari pintu apartemenku. Mendorong Bima sama rasanya seperti mendorong batu. Bima tidak goyah sedikitpun. Dia diam saja, menunduk menontonku mati-matian mendorong badannya kuat-kuat. Lama-lama terasa jadi konyol. Jadi aku berhenti, untuk berpikir harus bagaimana selanjutnya.

Bukannya koperatif Bima malah mulai marah. Ekspresinya jauh lebih jahat dari semenit yang lalu. Suara Bima juga jauh lebih keras, tajam dan mengintimidasi dari yang terakhir kuingat. Ternyata Bima tidak berubah setelah sebelas tahun. Dia masih suka marah-marah.

"KENAPA KAMU NGGAK MARAH SETELAH MELIHATKU SEKARANG?!" Bentaknya.

Hah, coba bayangkan. Ia marah-marah untuk memintaku marah. Bisa-bisanya.

"Aku marah kok." Jawabku singkat. Melihat Bima betulan membuatku marah,- tapi dengan caraku.

"KAMU NGGAK MARAH!"

Aku meringis, "Aku marah, betulan."

Bima menggeram lalu menyebut-nyebut soal ekspresi wajahku kemarin. Menurutnya waktu konferensi itu aku tidak kelihatan marah sama sekali walaupun di lecehkan dan dituduh membuat pernyatan palsu. Aku mengerjapkan mata tak percaya. Aku marah lah! Bukannya Bima yang harusnya paling tau aku marah? Makanya aku melapor ke bagian personalia. Bukannya akibatnya aku malah di laporkan balik? Aku menghela nafas. Bima kan pengacara pak Herman. Bukan harusnya dia yang paling tau?

"Aku marah!" Ulangku lagi dengan tak sabar.

Detik berikutnya, aku mendengar pintu di depanku menutup dengan keras, aku terjatuh ke lantai. Telapak tangan Bima di bagian belakang rambutku dan matanya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Lucunya di detik yang sama, ditengah-tengah keterkagetanku, aku malah memikirkan hal sepele seperti bentuk alis Bima, kerutan di sudut matanya saat ia bicara, tahi lalat kecil di sudut dagunya yang betul-betul kuingat di luar kepala. Ternyata waktu tidak membuatku benar-benar lupa segalanya.

"Kamu nggak masalah di lecehkan kan?" Gertaknya.

Aku tertegun lalu sekuat tenaga berusaha melepaskan diri. Aku memukul semua bagian tubuh Bima yang menindihku. Bima baru melepaskanku setelah aku memukul rahangnya.

Bima mengelus kasar rahangnya sambil memandangku tajam. Jelas pukulanku tidak ada rasanya untuk standar Bima. Wajahku berubah merah karena jengkel bercampur takut. Setelah sebelas tahun aku berubah. Begitu juga dengan Bima. Dia bukan Bima. Bima di depanku lebih jahat dari Bima yang kukenal dulu.

"Kamu harus belajar buat melawan lebih keras dari sekarang." Geram Bima.

Geraman Bima membuatku ingin menonjoknya lagi tapi cahaya lampu ruanganku sekarang terlanjur menyorot wajah Bima lebih jelas. Wajah dan bibir Bima pucat. Ia seperti orang mabuk. Tanpa sadar aku bergerak meletakan telapak tanganku di keningnya. Bima kembali waspada. Dengan kasar tangannya menepis tanganku, tapi aku terlanjur merasakan panas tubuhnya.

"Badanmu panas Bima....."

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang