Badan Bima panas seperti kompor padahal udara malam hari ini dingin. Aku memandanginya tidak tau harus bersikap bagaimana. Aku kenal Bima tapi di saat yang sama Bima juga terasa asing untukku saat ini.
"Badanmu panas Bima." Ulangku.
"Nggak." Bantahnya keras kepala.
"Oh." Aku mengangguk-angguk, malas berdebat. Aku mengalihkan pembicaraan,"Kamu tau aku tinggal di sini dari mana?"
"Ip address."
"Apa itu?"
"Cara ilegal." Jawabnya singat.
Oh, ternyata Bima bisa mencari titik lokasiku dengan cara ilegal. Artinya sejak dulu, Bima sebetulnya bisa mencariku dimanapun kapanpun dengan cara mudah, sementara aku tidak bisa apa-apa. Aku jadi tambah jengkel. Harusnya sekarang aku menunjukan pada Bima kalau aku sudah tidak peduli lagi padanya. Rencana sih begitu, tapi melihat Bima mulai bicara tidak jelas di depanku membuatku tidak tega. Bima kelihatan setengah tidak sadar. Dari raut wajahnya juga terlihat Bima kecapekan berat. Perlahan rasa khawatir menyelinap tanpa kusadari. Bisa-bisanya aku masih bisa menghawatirkan orang sejahat Bima setelah ia pergi selama sebelas tahun ini.
Bodohnya lagi, bukannya menggulingkan Bima keluar dari kamarku seperti ia menggulingkanku dari hidupnya, aku malah menggiring Bima yang setengah tidak sadar ke sofa.
Aku memaksa Bima berbaring di sofa dan membuatnya meminum obat penurun panas. Aku juga meletakan kompres dingin instan di kening Bima lalu duduk menunggu disampingnya. Ruang apartemenku tidak besar. Ukurannya hanya tiga kali enam meter. Ruang sofa, dapur dan kamar jadi satu tanpa sekat.
Sudah begitu, Bima masih bisa marah-marah selama lima menit. Intinya kenapa aku harus muncul lagi. Padahal katanya kalau aku sampai muncul kembali Bima tidak tau caranya melepasku lagi.
"Iya. Kenapa aku HARUS muncul lagi ya?" Jawabku judes.
Reaksiku membuat bibir Bima tertarik sedikit kesamping. Itu cara pelit Bima untuk tersenyum. Protesnya terhenti sampai disana kemudian Bima hanya menatapku hingga tertidur.
...........................
Aku terbangun dari tidur karena rasanya aku seperti melayang. Rasanya aneh, Pikirku ngantuk. Aku mengucek mata dan mengeluarkan suara mengerang ala bangun tidur. Betapa kagetnya begitu mataku fokus hal pertama yang kulihat adalah rahang laki-laki, lebih tepatnya kepala laki-laki di atas kepalaku. Aku nyaris lompat tapi Bima mengencangkan gendongannya supaya aku tidak jatuh.
"Kamu sudah bangun?" Ujarnya tenang sementara aku teriak-teriak minta di turunkan.
Bima menjatuhkan aku di tempat tidur. Aku langsung mengambil ancang-ancang untuk menjotoskan lagi, tapi kali ini Bima ternyata tidak melakukan apa-apa. Tanpa komentar, Bima balik badan kemudian duduk di sofaku kembali.
"Bima ngapain?!" Seruku.
"Bawa kamu ke tempat tidur."
"Iya, kenapa kamu bawa aku tempat tidur?"
"Kamu hampir jatuh terus sewaktu tidur di sofa." Jawab Bima kaku.
"Kan Bima yang tidur di sofa?!"
"Bukan."
"Terus Bima tidur dimana?" Tanyaku bingung, seingatku tadi malam Bima tidur di sofa sementara aku duduk di lantai menunggunya.
"Aku nggak tidur." Jawab Bima singkat kemudian mengalihkan pandangan ke jam dinding.
Mau tidak mau aku ikut menoleh ke Jam dinding. Jam berapa ini? Pikirku. JAM SEBELAS SIANG?! Aku menjerit dalam hati.
Aku belum bisa menentukan mana yang lebih buruk; tidur satu kamar dengan laki-laki yang pergi menghilang tanpa kabar selama sebelas tahun atau perempuan pengangguran yang baru bangun jam sebelas siang dan bahkan lupa hari ini hari apa.
Aku berguling-guling malu di kasur, sampai lupa kalau Bima masih bisa menatapku live dari sofa yang ia duduki sekarang. Begitu sadar, aku mau mati aja saking malunya. Untungnya ekspresi Bima saat menatapku tampak galak, datar, kaku, seperti patung. Sepertinya ia tidak peduli sama sekali aku gelagapan berguling-guling di kasur.
"Ini apa?" Bima tiba-tiba mengangkat kompres instan dingin yang kutempelkan di keningnya tadi malam.
"Itu kompres instan." Aku mendengus. Bima bisa mencari titik lokasi tempat tinggalku dengan cara canggih ilegal sementara dia tidak tau kompres demam itu apa, "Ini hari apa ya Bima?" Aku balik bertanya. Pertanyaan kami berdua sama-sama tidak bermutu.
"Kamis."
"Bima nggak kerja?" Tanyaku heran sebelum melanjutkan dengan gugup," Jangan-jangan kamu di pecat juga kayak aku Bim?! Kemarin kan kamu nonjok klienmu!"
Bima mendengus, "Aku nggak di pecat."
"Terus kenapa nggak berangkat kerja?" Mataku menyipit curiga.
"Aku menunggu kamu bangun."
Wajahku langsung merah. Semerah-merahnya, "Eng, sekarang aku sudah bangun. Bima bisa berangkat kerja."
"Ya." Jawab Bima kaku. Ia bangkit berdiri. Untungnya sebelum Bima membuka pintu aku teringat sesuatu. Aku berlari terbirit-birit kedepan pintu. Mengecek lorong apartemenku. Apartemenku bukan apartemen mewah. Bukan hal aneh melihat ibu-ibu paruh baya melintas hilir mudik atau ngerumpi di depan pintu. Terus sekarang aku mau menunjukan ke mereka kalau ada laki-laki tau-tau keluar dari ruanganku jam segini? Bagaimana kalau mereka tau aku semalaman berdua dengan Bima?
"Tunggu, tunggu sebentar." Aku mendorong Bima jauh dari pintu," Banyak ibu-ibu."
Bima mengangkat alisnya,"Kenapa dengan ibu-ibu?"
"Nanti mereka tau kita tidur satu ruangan berdua sepanjang malam." Jawabku parno.
"Memangnya kenapa?"
Aku ganti mengangkat alis, mengerutkan kening sambil meringis. Aku tau Bima daridulu kaku tapi sebelas tahun sudah berlalu dan sekarang Bima malah semakin mirip robot. Masa' dia juga tidak tau the power of emak-emak? Skandal se hot ini di jamin bisa menyebar sekomplek apartemen dalam hitungan jam!
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Dla nastolatkówSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...