Juni 2007

2.6K 442 43
                                    


"Loh? Kita satu sekolah lagi Bim?" Tanyaku kaget melihat Bima berdiri di halte dekat rumahku dengan atribut MOS yang sama denganku.

Bima hanya diam saja makanya aku buru-buru mengecek bet nama sekolah di lengannya, SMU 1.

Ternyata memang kami satu sekolah lagi. Aku meringis saking leganya. Sudah berbulan-bulan aku khawatir nggak akan satu sekolah lagi dengan Bima. Selama ini lagi-lagi Bima hanya diam saja setiap aku cerita kemana aku akan melanjutkan sekolah dan nggak pernah menjawab setiap kutanya soal itu, seperti dulu waktu kami lulus SD.

Bima tertawa sekilas sambil menunduk begitu melihat ekspresiku. Kelegaanku berubah jadi gugup.

"Bima kok disini? Bima pindah rumah?" Tanyaku mengalihkan perhatian.

"Nggak."

"Bima nggak hafal rute menuju SMU 1?"

"Ya, aku pindah rumah." Jawab Bima ketus.

Aku menelengkan kepala bingung dengan jawaban Bima yang berubah-rubah.

"Bima pindah ke dekat sini? Disebelah mana?"

Bukannya menjawab Bima malah cemberut. Sebetulnya aku sudah biasa. Aku sudah hafal jenis-jenis cemberut Bima. Mana yang dia betul-betul marah, agak marah, marah sedikit atau cuma gara-gara males ngomong. Untuk kali ini, Bima nggak betul-betul marah dia cuma malas bicara.

Buktinya begitu didalam bus yang penuh sesak, Bima normal lagi. Dia biarin aku berdiri didekat jendela di kelilingi pagar lengan Bima yang memberiku ruang supaya tidak tercepit kerumuman.

Kemudian untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gerbang SMU 1. Begitu sampai depan pos satpam secara reflek aku memperlambat langkah kakiku supaya Bima bisa berjalan di depanku.

Bima langsung menoleh kebelakang begitu gaya jalanku berubah jadi keong. Dia protes kenapa aku jalan pelan-pelan. Aku bilang, ya supaya kami nggak di jadikan bahan gosip padahal baru hari pertama.

Bima mendengus, tau-tau dia berhenti dan memandang wajahku galak. Aku nggak takut sih, tapi pada akhirnya aku menuruti Bima juga dengan berjalan di sampingnya.

Seperti yang sudah kuduga, kami jadi bahan tontonan. Bima memang selalu menarik perhatian. Wajahnya, tinggi badannya, caranya bersikap walaupun sebenarnya ia hanya berjalan doang. Senormal-normalnya cara manusia berjalan.

Pokoknya ada sesuatu dari Bima yang membuat dia mencolok, seperti kue coklat di depan anak kecil gendut kelaparan.

"Bim, kita dilihatin semua orang." Bisikku takut. Biasanya aku hanya merasa nggak suka saat ditatapi tapi kali ini terlalu ekstrem, nyaris semua orang menatapi kami penasaran. Lebih parahnya karena aku nyaris nggak kenal semua orang yang sedang menatapi kami.

Terutama anak perempuan. Mata mereka langsung tertuju ke Bima seperti magnet kemudian tatapan mereka jatuh ke wajahku. Aku ketiban perhatian yang nggak kuinginkan. Jadi bahan tontonan itu menakutkan.

Bima berhenti berjalan untuk menatap ekspresi wajahku.

"Maaf aku egois."

"Eh?" Aku mengangkat alis bingung, nggak menyangka jawaban Bima kaya' gini, "Bagian mananya?"

"Buat semua orang salah paham."

"Salah paham apa?" Tanyaku sebelum terdiam berpikir selama 10 detik," Maksudmu salah paham ngira kita berdua pengantin baru gitu?" Ulangku merujuk ejekan yang kami terima waktu SD.

"Nggak sampai pengantin baru juga." Gumam Bima, dia nggak bisa nahan ketawa.

"Apa nggak apa-apa mereka salah paham?"

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang