"Bima?" Panggilku mencoba mengejar Bima yang terburu-buru keluar dari ruang ujian kelasnya. Langkah Bima terlalu cepat. Aku nggak bisa mengimbangi langkahnya. Aku akhirnya cuma bisa melihat Bima masuk ke dalam mobilnya dari jauh. Sekarang Bima selalu pulang sendirian, padahal biasanya Bima selalu menungguku pulang. Waktu aku dengan sedih membalikan badan, Gibran sudah berdiri di belakangku. Gibran mengajakku pulang dengannya tapi kutolak. Soalnya setauku karena Gibranlah Bima marah. Aku nggak buat Bima makin marah.
Menurutku semua masalah kan bisa di selesaikan asal mau dibicarakan, tapi Bima malah memilih untuk menghindarku berhari-hari. Aku berusaha tenang. Soalnya kan masih ada hari besok. Marahnya Bima pasti bakal reda juga. Setelah reda, aku pasti bisa ngajak bicara Bima pelan-pelan.
Satu hari, dua hari, seminggu penuh kelas meeting. Bima tidak muncul. Seminggu dua minggu liburan tanpa kabar. Handphone Bima nggak bisa di hubungi lagi. Awal semester dua, Ibunya Sarah-kepala sekolahku mengumunkan kalau Bima pindah sekolah.
Aku tertegun tidak percaya. Padahal kukira masih ada hari lain. Kukira masih ada kesempatan. Nyatanya Bima betul-betul pergi dan mungkin tidak akan kembali.
................
Sebelas tahun
Aku memukul keningku dengan telapak tangan. Berharap kalau jidatku dipukul aku bisa lupa soal kejadian seminggu terakhir ini. Sayangnya tidak bisa. Aku harus memukul kepalaku dengan cara lebih ekstrem lagi kalau memang ingin totalitas hilang ingatan. Gawatnya kalau aku sampai betulan amnesia aku bisa-bisa juga lupa mengirim surat lamaran. Padahal aku nggak boleh lama-lama menganggur karena aku harus membayar listrik, air, sewa apartemen dan sebagainya. Memalukan kalau aku harus minta uang ke orangtuaku. Ibuku daridulu cuma ibu rumah tangga sementara ayahku sekarang sudah pensiun. Lagipula aku juga tidak bisa bilang ke mereka kalau aku baru saja dipecat. Mereka pasti balik bertanya alasanku dipecat dan aku tidak mungkin bilang kalau aku di pecat karena di tuduh memberi kesaksian pelecehan seksual palsu ke perwakilan personalia. Masalahnya, aku kan nggak bisa bohong. Kalau melihat muka orangtuaku aku pasti tanpa sadar bicara jujur dan bisa di pastikan ayahku bakal marah. Ayahku bisa melakukan hal seperti melapor ke polisi. Bayangkan saja kalau polisi nantinya bawa-bawa wartawan. Wajahku bisa saja di liput dan mantan perusahaanku juga. Citra dan manajemen perusahaan bisa kacau. Padahal selain pak Herman, semua rekan-rekanku disana baik.
Niatku, aku mau bertahan di kota ini kira-kira sampai tabunganku mepet. Kalau memang sudah tidak ada harapan lagi, baru aku bakal pulang ke rumah. Itu juga setelah aku latihan membuat alasan-alasan palsu.
Aku menepuk-nepuk keningku lagi karena aku tiba-tiba malah teringat kejadian paling jelek. Saat Bima menonjok pak Herman padahal sebelumnya Bima mengenalkan diri sebagai pengacara beliau. Pak Herman mengamuk setelah ditonjok. Beliau sampai harus di geret keluar dari ruangan. Esoknya, yang aku tau surat pemecatanku keluar.
Aku tau, pada dasarnya aku bakal di pecat. Peristiwa penonjokan itu cuma mempercepat dan mempermudahku di pecat. Bayangkan saja sampai pak Herman yang sendirinya memaksa membawaku ke pengadilan berhasil memenangkan kasus. Dia pasti tidak akan dengan damai memecatku. Pasti aku malah dituntut ganti rugi ini itu. Aku merinding membayangkannya.
Sekarang saja, aku masih sangat ketakutan setiap teringat kejadian-kejadian sewaktu itu. Saat pak Herman menarik tanganku seperti hendak mencium wajahku dan pesan-pesan singkatnya yang menjijikan. Semua pesan itu terkumpul di handphone kantorku yang disita perusahaan. Padahal disitu ada buktiku yang paling berharga. Tapi aku bisa apa? Aku cuma karyawan yang baru beberapa bulan kerja sementara lawanku adalah salah satu pemimpin perusahaan.
Aku tidak tau berapa lama aku menyibukan diri menyusun-nyusun berkas sampai suara ketukan pintu apartemenku membuatku sadar.
Tanpa berpikir apa-apa aku membuka pintu. Di hadapanku berdiri seorang laki-laki. Aku kenal orang ini. Aku hafal bentuk alisnya yang tajam, hidungnya yang mancung, rambutnya yang hitam gelap tebal.
Dia Bima.
Masa laluku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Fiksi RemajaSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...