FebruariBima berusaha memusatkan pikirannya untuk mengerjakan latihan soal, sayangnya perhatiannya tak bisa teralih. Walaupun ia bisa memaksa matanya tetap menatap buku, ia tidak bisa memaksa kupingnya untuk tidak mendengar.
Nana duduk di sebelahnya. Daritadi Nana memberinya tebak-tebakkan. Tebak-tebaknya tidak bermutu makanya Bima tidak mau menjawab. Bukannya berhenti, Nana malah menjawab tebak-tebakkannya sendiri, lalu tertawa geli sendiri.
Saat itu, Bima di landa keheranan pertama: Sejak kapan ia mulai mati-matian menahan tawa mendengar tebak-tebakan Nana?
Tebak-tebakan Nana sebetulnya betul-betul garing. Saking garingnya malahan Bima jadi ingin tertawa atau karena suara tawa Nana yang khas. Bukan tawa terbahak-bahak tapi ketawa pelan geli dengan ekspresi lucu.
Lalu Bima di landa keheranan kedua: Sejak kapan suara tawa Nana malah membuatnya ikut tertawa bukannya jengkel?
Mungkin karena suara tawa Nana menular. Mungkin karena lama kelamaan suara Nana terdengar lucu di kupingnya atau karena ekspresi Nana jauh lebih lucu daripada tebak-tebakannya.
Mungkin juga karena Bima akhirnya sadar, sulit untuk memusuhi orang yang tidak sadar bila sedang di musuhi.
Selesai main tebak-tebakan sendirian, Nana bercerita. Lagi-lagi bicara sendirian karena tidak ditanggapi Bima. Nana bercerita soal sekolah yang dia tuju, SMP 2.
"Bima mau masuk SMP mana?" Tanya Nana di tengah-tengah ceritanya.
Bima mengerutkan kening, sebetulnya ia belum memikirkan soal itu sama sekali.
"Nanti kita satu sekolah lagi ya."
Untuk pertama kalinya setelah dua jam, Bima menoleh menatap Nana. Nana sedang tersenyum atau memang karena bentuk bibirnya, Nana selalu tampak sedang tersenyum.
"Kenapa?" Tanya Bima ketus.
"Kalau nggak ada Bima sepi..."
Juli
Bus penuh sesak. Bima tidak punya pilihan lain selain berdiri berdesakan di samping Nana. Tanpa sadar Bima menundukkan kepala. Nana berdiri di sebelahnya dengan seragam putih biru. Pertama kalinya Bima melihat Nana dengan seragam SMPnya. Cahaya dari balik jendela bus membuat bulu mata dan rambut Nana berwarna coklat lebih terang daripada biasanya. Dari dekat Bima bisa melihat jelas bentuk bibir Nana, garis alisnya, warna pipinya sampai helaian terkecil rambut di keningnya.
"Bima, baumu kaya' permen." Mendadak Nana mendongak, balik menatap mata Bima.
Tanpa peringatan jantung Bima terhenti. Perutnya sakit -mungkin kepalanya. Mungkin juga tulangnya. Semuanya sakit. Bukan sakit seperti flu. Bima belum pernah merasakan sakit jenis ini.
Permen. Perut Bima bergejolak hebat, seperti mabuk kendaraan. Sekilas ingatannya berkelebat, saat ia masih sekolah dasar ia melihat Nana mencium aroma permen yang baru di buka dari bungkusnya kemudian tertawa.
"Mukamu jelek." Bentak Bima ketus sambil mengalihkan pandangan sementara ia bisa merasakan kupingnya memerah.
Oktober
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...