Maret 2006

2.6K 399 10
                                    

Bima POV

Nafas Bima memburu. Ia nyaris melempar remote AC di dekatnya ke jendela.

Mimpinya barusan terasa nyata. Pengalaman buruknya terulang dalam tidur.

Saat ibunya tiba-tiba pergi tanpa kabar, meninggalkan Bima bersama ayahnya yang hampir Bima tidak pernah temui karena terlalu sibuk bekerja.

Mimpi buruknya, terpaksa harus mengikuti ayahnya pindah keluar kota. Tinggal di tempat yang tidak ia kenal. Tanpa teman, saudara atau ibu.

Menunggu kabar dari ibunya yang tidak pernah ada berminggu-minggu.

Kebencian Bima pada ibunya yang tiba-tiba pergi tidak ada apa-apanya di banding kemarahannya ketika ibunya datang kembali.

Untuk meminta maaf dan memintanya datang ke pernikahannya.

Darahnya mendidih, kemarahannya meledak. Bima melempar semua barang di dekatnya.

Ibunya hanya terdiam.

Dan Bima terbangun.

Mimpi buruknya tidak berakhir walaupun ia terbangun.

Karena mimpi buruknya benar-benar nyata.

******

Aku baru bilang terimakasih ke Bima saat kelas olimpiade. Tanggapan Bima ya begitu itu, diam saja. Tapi eh, dia minta aku latihan pidato lagi. Aku sampai melongo.

"Cita-citamu jadi guru bahasa Indonesia Bim?" Tanyaku heran.

Bima mengeluarkan suara seperti tersedak. Bukan, beneran tersedak. Kaya'nya Bima menahan tawa. Menurutku, omonganku jelas tidak lucu, jadi kusimpulkan Bima mengetawai dirinya sendiri.

"Cepetan pidato." Paksa Bima.

Pidato apa? Ujian praktek pidato kelasku juga sudah selesai. Jadi ngapain latihan? Pikirku sambil menggeleng.

"Cepetan." Perintah Bima.
Aku menggeleng sekali lagi.
Bima mendengus jengkel.
Akhirnya aku juga yang ngalah.

Dengan sabar aku berkata,"Emangnya mau pidato apa? Aku kan nggak bawa naskah."

"Pidato apa aja." paksanya lagi.

Bima sadar tidak kalau sekarang ia jadi tukang maksa? Bodohnya selama ini kok ya aku nurut-nurut saja.

Tanpa sengaja tiba tiba aku ingat soal Avatar Aang, The Last Air Bender. Iya, kartun itu. Sarah tidak suka mendengarku membahas tentang Avatar Aang (Padahal jarang-jarang aku membahas itu). Sarah itu sama sekali nggak ngerti soal Avatar Aang. Padahal Avatar Aang itu kartun kedua setelah Doraemon yang bisa membuatku bengong di depan TV.

Jadi, aku pidato (atau cerita?) tentang Avatar Aang pada Bima saking bingungnya mau pidato apaan lagi. Bima melirik kebelakang sedikit, alisnya naik satu. Tuh! Ceritaku tentang Avatar Aang lebih menarik kan daripada pidato formal. Bima memang nggak menanggapi, tapi aku tau dia mendengar. Masih mendinglah daripada Sarah yang baru saja mendengarku nyebut nama Aang langsung buru-buru mengalihkan pembicaraan.

Aku jadi ingat, waktu SD Bima salah sedikit anak yang nggak ngeledek hobiku nonton kartun. Sejak dulu aku terkenal pendiam dan sekalinya aku buka mulut, biasanya aku ngomongin kartun. Butuh waktu lama sampai aku mau buka mulut dan bicara panjang lebar dengan orang lain. Jaaadddiiii.... aku tidak membahas tentang kartun ke sembarang orang, hanya orang-orang tertentu yang aku familiar.

Nah, dari sejak itulah, aku suka cerita tentang Avatar Aang ke Bima. Soalnya, Bima tidak lari menghindar, tidak protes atau menatapku judes setiap aku cerita. Alasan kedua? Ya karena benar juga kata Bima, siapa lagi yang mau dengar selain dia? Alasan ketiga? Supaya aku nggak disuruh latihan pidato melulu.

Dari Avatar Aang ceritaku mulai merembet kemana-mana. Seperti dulu, aku mulai cerita ke Bima nyaris semua yang ada di kepalaku. Kadang Bima bilang aku cerewet, tapi dia dengerin juga. Waktu Bima tanya kenapa aku balik jadi cerewet lagi kayak dulu. Kujawab saja, aku suka cerita sama Bima. Memang begitu sejak dulu. Harusnya Bima tau.

Bima tanya lagi kenapa aku suka cerita padanya. Aku jawab, tidak tau.

Yang jelas, setelah lumayan lama Bima bertingkah seakan tidak mengenalku sekarang ia kembali jadi Bima yang dulu. Seperti dulu, waktu kami masih SD.

Rasanya seperti teman lamaku kembali.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang