"Kamu sudah berhenti merokok belum Bim?" Tanyaku saat Bima dalam perjalanan menuju ke rumahku untuk mengambil buku pelajarannya yang kupinjam tempo hari lalu.
Bima menghiraukan pertanyaanku. Dia sibuk melihat keluar jendela bus.
Karena itu aku menarik lengan baju Bima untuk mendekatkan wajahku ke wajahnya. Tidak seperti dulu, Bima lebih waspada. Ia langsung mendorong wajahku menjauh.
"Belum." Jawabnya pendek.
Aku mengangguk mengerti. Berhenti merokok itu kan sulit.
"Hm, tapi kok aku gak pernah ngeliat Bima ngerokok didepanku?"
"Aku nggak akan ngerokok di depanmu." Jawab Bima tegas.
"Kenapa?"
"Nanti kamu batuk."
"Nggak kok."
"Pokoknya nggak akan." Gumam Bima ketus.
"Terus dimana biasanya Bima ngerokok?" Tanyaku penasaran.
"Rumah."
Aku melongo, "Gimana kalau orangtuamu tau?"
"Mereka nggak peduli."
Aku menggigit bibir ragu-ragu, "Apa sekarang wajar anak 15 tahun ngerokok? Apa aku yang kurang gaul?"
Bibir Bima tertarik sedikit kesamping,"Nggak."
"Kamu nggak minum alkohol, punya tato atau makek narkoba juga kan Bim?" Tanyaku khawatir.
"Narkoba? Nggak." Kata Bima sambil mengangkat alis kemudian melanjutkan, "Kalau tato? Iya."
"Sungguhan?" Seruku tak percaya,"Dimana?"
"Di lengan atas."
"Ya ampun." Kataku tanpa sadar mengecek lengan Bima.
" Nggak lah, bego." Kata Bima sambil terkekeh.
"Aku juga punya tato." Balasku.
"Oh ya?" Kata Bima dengan ekspresi menghina sekali.
" Kamu harus percaya Bim!" Paksaku.
Bima mendengus ngejek, "Iya. Dimana?"
"Ngg.." gumamku tidak jelas sambil menunjuk punggung, "Disini."
"Gambarnya apa? Avatar Aang?"
"Eh? Iya." Jawabku bingung mau jawab apa.
Tiba-tiba Bima tertawa terbahak-bahak. Aku sampai bingung kenapa Bima ngetawain hal barusan yang menurutku nggak lucu sama sekali.
"Cewek aneh." Ejek Bima.
Disaat yang sama tiba-tiba aku bersin.
Bima mengelap hidungku dengan ujung lengan jaketnya.
"Hidungmu meler lagi tuh." Gumamnya.
Aku mengangguk-angguk. Hidungku memang gampang sekali meler.
"Kamu nggak jijik?" Tanyaku selepas Bima mengusap hidungku.
"Aku pernah kamu muntahin. Apa bedanya sama hidung meler?" Kata Bima cuek.
Tanpa kutau alasannya perutku tiba-tiba mual. Rasanya seperti di aliri kejutan listrik. Kalimat Bima menyadarkanku bahwa bahkan Sarah, teman perempuan terdekatku saja mustahil mau mengusap hidungku.
Bima memperhatikan perubahan ekspresiku. Bukannya mengalihkan pandangan atau memasang tampang cemberut, Bima malah menunduk penasaran. Aroma Bima samar-samar tercium. Aroma mirip kayu bercampur dengan musk. Wajahku semakin merah padam karena canggung.
Biasanya Bima orang yang berjarak sekali. Biasanya lagi, aku belum pernah merasa begini. Ternyata canggung di dekat Bima rasanya menyiksa.
Harusnya Bima nggak perluh ngambil kardus bukunya sendiri di rumahku. Harusnya aku yang ngantar ke rumahnya sendiri. Beberapa hari yang lalu juga begini, waktu aku pulang dari rumah Bima, Bima bersikeras aku di antar sampai ke rumah oleh pak Nugroho dengan mobil. Pokoknya nggak boleh bawa sekardus buku sendirian naik bus.
Saat itu juga aku berusaha bilang ke Bima kalau Bima nggak usah kerumahku aja. Besok saja aku mengembalikan bukunya. Sudah susah payah bilang, Bima hanya diam tidak menanggapi.
"Aku bisa bawa sekardus buku sendiri." Kataku memaksa.
Alis Bima naik dua-duanya. Kayaknya dia merasa aneh melihatku tumben keras kepala.
"Kamu anak perempuan Na."
"Apa hubungannya?" Tanyaku bingung karena jawaban Bima nggak nyambung. Selain itu juga karena daridulu kukira Bima selalu nganggap aku anak laki-laki.
"Jangan ngangkat barang berat."
"Tas punggungku masih lebih berat."
"Nggak." Tolaknya tegas.
"Aku nggak lemah Bim." Paksaku.
"Oh ya?" Ujar Bima santai.
Tiba-tiba Bima menggenggam tanganku. Aku bengong ee.. sebetulnya mendelik menatap genggaman tangan Bima.
Kecanggunganku sudah sampai tahap maksimal. Dengan panik aku mencoba melepaskan pegangan tangan Bima tapi gagal. Aku sampai bergerak-gerak seperti cacing kepanasan mencoba menarik tanganku tapi genggaman tangan Bima kuat sekali. Baru setelah wajahku seperti anak kecil mau nangis, Bima melepaskan genggaman tangannya.
Bima menyeringai. Hi.. ekspresi mukanya jahat banget. Tapi, bisa bagaimana lagi aku? Akhirnya mau nggak mau Bima betul-betul kerumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...