Januari
Kira-kira tiga bulan lalu, ayah Bima tiba-tiba berkata bahwa beliau akan menikah lagi. Untuk pertama kalinya Bima menolak permintaan ayahnya untuk bertemu calon ibunya. Bima sudah bertekad tidak akan mau. Salah satu alasannya juga karena Bima menganggap rencana ayahnya kurang tepat untuk situasi sekarang.
Bima ingat hari ia menjenguk dan tanpa sengaja melihat ibunya bersama teman baik ayahnya, om Hadi. Saat itu Bima langsung berlari pergi. Bima lebih memilih duduk menunggu di parkiran rumah sakit daripada melihat mereka. Beberapa minggu setelah kejadian itu, Ayahnya akhirnya memberitahu penyakit ibunya, kanker pankreas. Bima mendengus sinis. Pantas saja ayahnya tiba-tiba mau-maunya menjenguk mantan istrinya. Ironisnya, beberapa waktu setelah itu beliau malah memutuskan untuk menikah lagi. Kenapa tiba-tiba? Balas dendam mumpung ada waktu? Mumpung masih hidup? Mumpung ibunya masih bisa tau dan melihat?
Bima tau kanker ibunya sudah memasuki stadium tiga. Sisa waktu beliau mungkin sudah tidak lama lagi. Tapi harga diri Bima terlalu tinggi. Bima masih belum bisa memaafkan ibunya. Bima juga masih terlalu marah untuk datang menjenguk lagi. Di lain pihak, soal ayahnya, Bima tidak suka ada orang asing di dalam rumahnya. Bima tidak suka basa-basi apalagi pura-pura ramah dengan orang asing. Sekalipun suatu saat orang asing itu berubah jadi ibu barunya. Karena itu, mood Bima sehari-hari semakin tidak karuan. Perubahan emosi yang dulu berhasil perlahan-lahan Bima kontrol kembali berantakan. Sampai suatu hari, Bima melihat rokok milik pak Nugroho tergeletak di ruang keluarga. Tanpa sadar Bima mencoba. Awalnya Bima terbatuk-batuk tapi perlahan menghilang hingga menjadi kebiasaan.
Tanpa terasa sudah berminggu-minggu Bima merokok. Bukan rasa penasaran yang membuat Bima memutuskan merokok, tapi rasa ingin merusak. Sesuatu untuk pelampiasan.
Hanya ada 2 orang yang tau Bima merokok. Yang pertama tau, pak Nugroho. Beliau menatap Bima yang merokok di halaman belakang rumah dengan ekspresi seperti habis di sambar petir. Pak Nugroho berkali-kali mencoba menasehati Bima tapi Bima tidak peduli. Sebetulnya sedikit banyak Bima juga tidak peduli ayahnya juga tau. Ayah Bima juga perokok. Bima tidak mau di larang berhenti merokok oleh orang yang juga tidak bisa berhenti.
Yang kedua, Nana. Kecerobohan Bima tanpa sengaja membawa rokok ke sekolah membuat Nana tau. Ekspresi Nana sewaktu pertama kali tau tidak ada bedanya dengan pak Nugroho. Bedanya Nana hanya diam saja. Sampai akhirnya, saat Nana berkunjung ke rumah Bima. Disana untuk untuk pertama kalinya Nana bilang, ia betul-betul tidak suka Bima merokok. Itu puncak kegagalan Bima mengabaikan Nana. Harus di akui, Bima sudah berkali-kali gagal. Kali ini malah gagal total.
Ada rasa puas saat melihat Nana khawatir. Ternyata bukan cuma Bima yang peduli, Nana juga peduli padanya. Akhir-akhir ini pula Nana selalu kelihatan gugup. Sejak kapan Nana mulai gugup di dekatnya? Bima tidak tau. Yang Bima tau, ia betul-betul suka reaksi Nana, seperti sekarang.
Bima menahan diri untuk tidak tertawa jahat. Nana terjepit di antara jendela bus dan Bima. Bima bisa melihat Nana gugup setengah mati. Keningnya berkeringat dingin, pipinya merona, sementara jemarinya menggenggam erat palang horizontal di dekat kaca. Keadaan berbalik sekarang. Dulu Nana yang membuat Bima gugup. Sekarang Bima yang membuat Nana gugup.
Begitu Nana bergerak sedikit untuk menghindari tatapan Bima, dengan cepat Bima menarik tasnya.
Nana membeku panik. Bima tertawa terbahak-bahak. Bima jadi ingin menyentuh pipi atau rambut Nana untuk melihat reaksinya, sayangnya Bima terlalu sopan untuk menyentuh wajah orang sembarangan."Kita turun disini." Gumam Bima disela-sela tawanya.
Nana mendongak menatap titik semu lima senti di samping hidung Bima, "Nnng... Tapi rumahku masih jauh.."
"Aku mau makan."
"Oh."
"Kamu juga makan." Perintah Bima.
"Ta..tapi aku nggak lapar." Gumam Nana panik.
Bima menyeringai sementara Nana menggelengkan kepalanya keras-keras. Percuma, mau Nana mati-matian menolakpun Bima bakal tetap menggeretnya paksa. Lalu untuk pertama kalinya, Bima makan berdua dengan Nana di luar sekolah. Di kios burger kecil di samping halte tempat Bima biasa turun.
Nana memakan burger yang di belikan paksa Bima masih dengan wajah merah padam salah tingkah sambil terduduk di kursi halte. Lucu. Bima masih ingin melihat ekspresi lucu Nana sampai ia tidak mau pulang kerumah.
"Nggak cerita soal avatar Aang?" Ledek Bima. Sebelum Nana jadi gampang gugup didekatnya, Nana mirip radio rusak. Nana tidak bisa ngerem suaranya kalau sudah membicarakan soal avatar aang.
Nana menggeleng.
"Kalau gitu cerita yang lain." Perintah Bima.
"Cerita apa?" Tanya Nana pelan.
"Apa aja."
"Bima aja yang gantian cerita."
Seketika Bima mendelik. Nana buru-buru menelan ludah.
"K..kalau tanya-tanya bukannya cerita, boleh?" Tanya Nana canggung.
"Tanya apa?"
Nana terdiam sebentar sambil menggigit bibir bawahnya sebelum berkata"Sekarang Bima sama temen-temen sekelasnya kaya' gimana?"
Bima menggertakan gigi. Moodnya berantakan seketika. Mana mungkin Bima cerita kalau saking jeleknya moodnya akhir-akhir ini, Bima sampai tidak mau bicara kecuali memang di tanya. Bima menjaga jarak dengan nyaris semua orang. Efeknya jelas Bima lebih sering sendirian. Di rumah, di sekolah, dimanapun. Jelas pula itu bukan jawaban yang di tunggu Nana. Bukannya sejak dulu Nana ingin Bima lebih ramah sama orang lain?
Saat Bima sadar dari pikirannya, ia menemukan Nana menatapnya setengah termenung. Bima balas menatap mata Nana dingin.
"Ada apa Bima?" Tanya Nana ragu-ragu. Ia takut melihat reaksi Bima selanjutnya.
Bima mendengus. Untuk kali ini ia tidak suka mendengar nada khawatir di suara Nana. Sebagai hukuman, Bima mendekatkan wajahnya beberapa senti ke depan Nana. Berhasil, Nana langsung membisu panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Genç KurguSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...