Selama seminggu berikutnya Bima menghabiskan waktu di kota kelahirannya. Tinggal sementara di rumah masa kecilnya yang selama ini di rawat keluarga besar ayahnya. Bima selalu mengira rumah ini sudah lama di jual. Tidak ada yang berubah dari rumah masa lalunya. Perabotannya, interior, warna catnya tetap sama. Hanya terasa dingin karena jarang ditinggali.
Waktu seminggu Bima habiskan untuk menunggu ayahnya selesai mengurus tujuh hari kematian mantan istrinya. Bima mengakui ayahnya lebih hebat. Bisa menelan harga diri bulat-bulat dengan datang dan membantu semua acara di rumah duka-rumah om Hadi.
Bima bersikeras tidak akan kesana sekalipun rasa bersalah menginjak-injaknya setiap hari. Bima terlalu familiar dengan rumah om Hadi. Masa kecil Bima banyak di isi dengan mengunjungi rumahnya. Terlalu banyak ingatan disana. Bima yakin satu ingatan yang muncul akan memancing ingatan yang lain seperti rentetetan ledakan kembang api.
Di pagi ke tujuh, tanpa sengaja Bima melihat ayahnya duduk di kursi kayu yang dulu sering di pakai ibunya untuk membaca koran. Ayahnya duduk terdiam memandangi pagar tanaman yang dulu di pakai ibu Bima menanam anggrek. Wajah beliau kuyu dan garis tuanya terlihat makin jelas. Tanpa sadar Bima bergegas masuk kedalam kamar. Suasana kamar malah membuat perasaannya semakin kacau. Cat biru, langit-langit putih, pesawat kayu di gantung dekat lampu. Semua itu pilihan ibunya.
Frustasi, Bima menyalakan sepuntung rokok. Menyeringai sendiri membayangkan Nana tau selama seminggu Bima sudah melanggar janji berhenti merokok. Bagaimana kabar Nana? Bima tidak tau. Ia bahkan tidak menyalakan handphone selama berhari-hari.
Ditinggalkan oleh orang yang bahkan dianggap kenangan buruk saja rasanya mengerikan. Bagaimana rasanya di tinggal oleh orang yang di anggap penting?
Rasa takut kehilangan membuat Bima seperti terikat tali. Tali itu mengikat Bima dalam rasa khawatir berlebihan. Rasa khawatir ditinggalkan. Bergantung selamanya untuk menjaga seseorang tetap di sampingnya. Bima tidak mau berakhir seperti ayahnya. Terlalu bergantung, ditinggalkan, kemudian kesepian sampai tua.
Bima sadar, Nana sudah membuatnya ketergantungan. Kebahagiannya seringkali terpusat pada Nana. Satu-satunya orang yang bisa membuat Bima menjadi dirinya sendiri, satu-satunya orang yang bakal tetap memaafkan Bima apapun kesalahannya.
Apa jaminan Nana tetap hidup? Jaminannya apa ia akan tetap bersama Bima sampai mati? Sekarang masalah Gibran saja sudah membuat Bima kacau. Bagaimana kedepannya? Bergantung pada Nana sama saja selamanya setiap saat khawatir kesehatan, keamanan, keadaan Nana. Sepertinya memang lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan lebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Novela JuvenilSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...