Desember 2018-3

2.8K 412 8
                                    

Ini bukan hal jahat pertama yang pernah ia lakukan pada Nana, ujar Bima dalam hati sambil memijat-mijat keningnya.

Sayang, dalam kepala Bima justru ingatan-ingatan masa lalu terputar ulang. Hari ia pergi. Tahun-tahun di sekolah barunya. Hari-hari ia frustasi. Minggu-minggu Bima ingin kembali bersama Nana. Butuh bertahun-tahun sampai Bima berhasil mengendalikan otaknya. Melanjutkan hidup lagi. Pura-pura lupa segalanya.

Kenapa harus sekarang setelah sebelas tahun?

Disaat yang sama pertanyaan yang paling ditakutkan oleh Bima bersahutan dalam kepala;dimana Nana tinggal di kota ini sekarang? Apa ia masih punya tabungan untuk pulang ke rumah orangtuanya? Apa ia punya uang untuk makan? Apa Nana punya sumber penghasilan lain? Apa ada yang merawat Nana sekarang?

Sialan. Bima menyumpah serapah dalam hati. Mengingatkan dirinya kalau inilah yang membuat Bima pergi. Rasa peduli. Khawatir. Bima jarang khawatir pada sesuatu. Justru karena itu rasa kekhawatirannya biasanya hanya tercurah penuh pada satu subjek. Orang biasa meremehkan rasa khawatir. Tapi untuk Bima, rasa khawatir dan pedulinya sering berlipat ganda berkali-kali lipat dibanding orang normal. Ini yang Bima tidak suka, rasa khawatir berlebihan itu diikuti panik dan ketakutan yang membuat Bima lemah.

Bima sadar ada satu bagian di alam bawah sadarnya yang tidak beres. Masalah mental yang harusnya di tangani profesional. Tapi kalau Bima mengakui sama saja ia menunjukan kelemahannya pada orang lain. Bisa saja ia malah jadi ketergantungan obat penenang untuk mengatasi panik.

Bima ingat, kadang kepanikannya tidak masuk akal. Terutama semenjak ibunya meninggal. Nyaris setiap malam ia memimpikan ayahnya atau Nana atau keduanya mati. Bima bangun dalam keadaan gemetaran ketakutan. Ia tau kenyataannya ayahnya atau Nana masih hidup tapi mimpinya terlalu nyata sampai kadang Bima sulit membedakan. Alam bawah sadarnya memaksa Bima memutuskan menghilang terlebih dahulu sebelum ditinggalkan.

Kelemahannya juga memaksa Bima untuk memilih,-seandainya ia bisa, untuk berhenti peduli pada semuanya. Masalahnya ia tidak mungkin meninggalkan ayahnya. Satu-satu jalan, Bima hanya bisa memilih satu. Dengan berkurangnya satu orang yang ia pedulikan-Nana, artinya berkurang satu beban psikologinya-atau yang Bima kira begitu. Kenyataanya, prosesnya mengerikan. Ada hari-hari Bima seperti orang gila. Membayangkan hal-hal menakutkan yang sebenarnya hanya dalam bayangan. Memang ada bagian baiknya hilang kontak dengan Nana, karena sedetik saja melihat wajahnya bisa membuat tekad Bima untuk pergi luntur. Bagian buruknya, menjauh dari Nana bukan berarti rasa pedulinya langsung menghilang begitu saja. Malahan perasaan itu menyiksa Bima pelan-pelan. Menggrogoti pikirannya selama bertahun-tahun sampai akhirnya Bima mati rasa.

Karena itu kenapa Nana harus muncul kembali setelah siksaannya mulai mereda? Sekarang Bima harus mengulang siksaan itu dari awal lagi. Tanpa sadar tangan Bima bergerak mencari data tentang Nana melalui kolom pencarian. Nihil. Tidak banyak hasilnya.

IA HARUS CARI DARIMANA?! Seru Bima frustasi dalam kepala. Harusnya ia main dengan OTAK waktu itu. Dengan sengaja membuat kliennya kalah dalam persidangan supaya Nana memenangkan pembelaan. Dengan begitu Nana pasti masih punya pekerjaan.

Tapi......setelah Bima tau, apa iya ia bisa rela Nana tetap bekerja disana?Apa jaminannya kejadian yang sama tidak akan terulang lagi? Karena Bima yakin Nana tidak bohong soal pelecehan itu. Bima melihat sendiri ekspresi menjijikan Herman saat menatap Nana. Itu ekspresi kebanyakan laki-laki saat menatap Nana. Sekarang pertanyaan yang paling penting, apa jaminannya Nana tetap aman setelah dipecat? Apa ia masih tinggal disini? Dengan siapa? sendirian?

Bima menjerit dalam hati. Mati-matian mengingatkan dirinya kalau Nana bukan anak kecil lagi. Mungkin juga Nana sudah menikah......yang paling penting Nana bukan lagi bagian hidupnya. Jadi Bima harusnya berhenti peduli.

Bima menumpukan telapak tangannya ke wajah. Rasa panik hebat mengusai. Dalam keadaan sehat Bima sedikit bisa mengendalikan tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan. Tanpa pikir panjang, Bima menggogling satu nama yang ia ingat; Sarah.

................

Bima menerima saja seruan marah seseorang di balik telepon. Sarah berteriak marah sepanjang sepuluh menit begitu Bima menyebutkan nama dan alasannya menelpon Sarah.

"Bima? Bima yang mana ya? Seingatku aku cuma kenal satu Bima. Bima yang jahat itu. Yang tau-tau ninggalin temenku tanpa kabar selama bertahun-tahun. Tapi terus sekarang tau-tau nyari kabar Anna." Bentak Sarah, "Ngomong-ngomong kamu tau nomorku dari mana Bim? Googling? Twitter? Instagram? Untung aja Anna nggak makai media sosial ya? Jadi kamu susah nyari tau tentang dia."

"Oh ya kamu tau nggak Anna selama berbulan-bulan di bully di sekolah? Semua orang nuduh dia yang bikin kamu pergi!"

"Makanya kalau memang mau pindah sekolah ngomong kek. Pamit kek. Bukannya tau-tau pindah gitu aja begitu ujian semester selesai! Mana nggak ada yang tau kamu pindah kemana!"

"Nana sampai nyari kabarmu kemana-mana! Dia datang ke rumahmu berkali-kali padahal rumahmu udah kosong. Sejak kamu pergi, Nana jadi sering ngelamun kaya' orang gila. Dan tau apa yang paling nyebelin? Udah tau kamu cowok brengsek, tiba-tiba hilang tanpa kabar, itu anak tetep aja doain kamu yang baik-baik. Selalu ngomongin kamu yang baik-baik. Selalu nungguin kamu balik. Selama bertahun-tahun Bim! Nggak satu dua hari doang!"

"Itu anak emang agak otak dengkul sih. Padahal masih banyak cowok lain yang peduli. Kayak Gibran itu tuh. Terus sekarang setelah semuanya. Setelah sebelas tahun kamu berani muncul lagi? Jangan gangguin Anna! Kalau kamu memang mau pergi yang niat dong! Sekalian pergi jangan balik lagi."

"Gila aja setelah sebelas tahun baru berubah pikiran! Baru nyesel sekarang ya? Padahal dulu Anna nggak pernah peduli sama cowok lain selain Bima. Cuma Bima doang."

"Gibran." Bima memotong tajam.

"Gibran apaan? Soal Gibran apa? Soal terpaksa pacaran itu? Bego! Sejak kapan Anna betulan peduli sama yang namanya Gibran? Gibran nggak pernah jadi bagian hidup Anna. Kamu pikir begitu kamu pergi Anna jadian betulan sama Gibran gitu? Bisa nggak sih percaya aja dikit kalau Anna yang dulu betul-betul cuma peduli sama kamu, Bim?"

"Terus alasannya apa kamu tau-tau telepon nanyain alamat sama nomor telepon Anna sekarang?"

"Alasan panjang." Jawab Bima kaku.

"Sepanjang apa sih? Kan kamu yang minta tolong! Minta njelasin aja nggak mau! Setelah sebelas tahun masih juga pelit ngomong ya Bima? Emang setiap kamu ngomong kudu bayar? Mana mungkinlah aku ngasih sembarangan nomor telepon sama alamatnya Anna sekarang. Apalagi ke orang kaya' kamu!"

"Harus kasih." Geram Bima,"karena aku yang baru aja buat Nana di pecat."

"HAH?" Suara di balik telepon tercekat kaget," Kok Anna nggak cerita ya?" Serunya kemudian sambungan telepon terputus.

Bima memandang gusar layar handphonenya. Wajar Sarah marah. Cuma Bima tidak menyangka anak perempuan yang dulu tidak berani menatap matanya sekarang berani teriak-teriak padanya.

Bima menghubungi Sarah lagi, namun sarah langsung menutup telepon sambil berseru,"Anjiir! Cari sendiri sana!"

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang