Januari 2019-1

2.8K 410 4
                                    

Aku menatap bangunan rumah di depanku. Rumah asri dengan halaman luas berpagar coklat. Ini memang betul alamat rumah yang di tuliskan Bima beberapa hari yang lalu. Setelah kupikir cukup lama, seperti tidak rugi bekerja sementara waktu di sini selama aku mencari pekerjaan yang lain.

Berhari-hari aku sudah memikirkan keputusan ini. Kebutuhan sehari-hariku di kota ini cukup besar dan aku harus segera mendapat sumber penghasilan. Tapi sebetulnya alasan terbesarku adalah aku tidak tahan hanya duduk diam di dalam kamar apartemenku tidak tau harus melakukan apa.

Perlahan aku menekan bel. Tak berapa lama muncul wanita paruh baya membukakan gerbang. Beliau tersenyum lebar seakan-akan dia sudah kenal aku lama.

"Mbak Nana ya? Yang kemarin telepon kan?" Tanyanya ramah.

Aku mengangguk. Nana? Pikirku heran. Selain Bima baru kali ada yang memanggilku Nana.

"Nama saya, bu Yani. Yang biasa bersihin rumah sini. Mbak Anna sudah di tunggu bapak ilyas daritadi loh."

Aku mengangguk sambil tersenyum lalu memasuki rumah. Tidak jauh dari gerbang ada laki-laki tua duduk di kursi kayu dekat pagar anggrek. Beliau balik tersenyum. Rambutnya putih dan badannya kurus. Umur beliau kira-kira 70 tahun. Aku mendekat dan mengenalkan diri pada beliau.

"Oh iya, saya Ilyasa." Jawab pak Ilyasa ramah.

"Saya Anna." Jawabku lalu mencium tangannya.

Pak Ilyas tersenyum makin lebar setelah mendengar namaku. Beliau tidak banyak bicara tapi langsung semangat menunjukanku semacam hasil karyanya. Palang-palang plastik yang di sambung-sambung untuk menyiram tanaman secara otomatis, berpindah ke aquarium besar di dekat gazebo lalu ke deretan tanaman hidroponiknya. Beliau mengobrol cukup banyak denganku sampai aku di panggil oleh bu Yani. Kukira aku akan di beri daftar tugas spesifik seperti membuat makan atau menjadwal obat tapi nyatanya tugasku hanyalah mengobrol dengan pak ilyasa. Aku sampai melongo. Aku di bayar berjuta-juta hanya untuk mengobrol? Bahkan aku di terima kerja disini hanya lewat wawancara telepon dan mengirim berkas melalui email. Bagaimana kalau ternyata aku orang jahat? Atau jangan-jangan pak Ilyasa yang jahat. Seperti sindikat penculikan. Tapi, semakin aku memperhatikan beliau dan bu Yani. Mereka tampak seratus persen orang baik. Selain itu Bima mengenal mereka kan? Menyedihkannya, aku tidak bisa membuang rasa percayaku pada Bima sekalipun aku telah di tinggalkan selama bertahun-tahun. Sejahat-jahatnya Bima, alam bawah sadarku tetap percaya bahwa Bima tidak akan melakukan hal yang membuatku terluka secara fisik atau membahayakan hidup.

"Bapak itu jarang ada temen ngobrolnya makanya beliau jadi agak pikun. Istrinya juga sudah meninggal lama. Lagian saya cuma disini dari pagi sampai sore sementara anaknya sering pulang agak malam. Jadi kalau malam kadang nggak ada yang jagain bapak. Jadi jadwal mbak nanti nungguin bapak sampai anaknya pulang. Selain ngobrol mbak juga awasi bapak ya. Beliau udah nggak bisa jalan lancar karena kakinya sakit tapi beliau masih suka jalan-jalan di rumah bikin-bikin prakarya. Saya itu kadang suka takut kalau bapak maksain diri ngangkat-ngangkat pralon. Apalagi kalau saya lagi nggak lihat. Baru tiga bulan yang lalu bapak jatuh waktu ngangkat pot. Kepalanya berdarah sampai harus di jahit loh mbak."

Bu Yani melanjutkan, "Oh ya mbak, biasanya anak beliau pulang selepas magrib. Anak beliau cuma satu. Nanti untuk sarapan di buatin anaknya,  makan siang biasanya anaknya mengirimkan katering, kalau makan malam anaknya yang buat lagi. Untung sekarang ada mbak Anna disini saya jadi bisa tenang ngerjain tugas rumah. Ndak ngecek-ngecekin bapak terus."

"Iya bu." Jawabku halus sementara hatiku rasanya sedih membayangkan betapa kesepiannya menjadi pak Ilyasa. Perlahan menua dan terbatas fisik tanpa bisa di cegah sementara semangatnya belum luntur.

Bapak ilyasa betul-betul seperti yang didiskripsikan oleh bu Yani. Beliau bergerak terus kesana kemari walaupun perlahan. Selain bergerak beliau juga suka membuat blue print proyek.  Sepertinya beliau menyadari bahwa beliau sudah mulai pikun. Jadi pak Ilyasa membuat catatan tebal rencana-rencana yang mau di lakukan beliau setiap hari.

Kedatanganku hari ini bertepatan dengan jadwalnya membuat meja bambu. Aku tidak mengerti alasan beliau membuat meja bambu di usia tujuh puluh tahun. Masalahnya pengalaman kerjaku selama ini tidak pernah ada yang mengajarkanku cara memotong bambu. Selama ini pekerjaanku selalu berhubungan dengan analisis kesehatan. Disaat yang sama aku tidak mungkin membiarkan kakek-kakek berumur 70 tahun memotong bambu sendirian.

Akhirnya aku ikut membantu beliau membuat meja bambu sampai tengah hari. Kegiatan kami di potong makan siang. Bapak mengajakku makan siang karena katering beliau sudah datang. Sebelum makan beliau melambaikan tangan ke dinding sambil nyengir. Kukira gerakan itu semacam sindrom-sindrom kepikunan dini tapi ternyata beliau melambaikan tangan ke kamera CCTV di pojok atas tembok ruang makan.

"Anak bapak biasa ngawasi bapak dari CCTV. Dia terlalu khawatir sama bapak." Pak Ilyas menjelaskan.

Aku tersenyum, "Anak bapak pasti sayang sekali sama bapak."

"Oh iya. Anak bapak itu baik. Bima itu betul-betul anak baik." Ujar beliau bangga. 

"Bima?" Bisikku gugup mengulang nama anak pak Ilyasa dengan tidak percaya.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang