Aku menatap bayanganku dari kaca bus. Rambutku yang lurus menggantung awut-awutan sebahu dan kulitku tampak putih pucat. Aku tampak seperti tikus kecemplung got. Pantas tadi Bima waktu kutanya balik, kalau menurut Bima aku menarik mananya? Wajah Bima langsung merah, bukan merah karena malu tapi karena jebluk. Dia marah. Aneh, marah gara-gara apa?
Bima sepertinya ingin menghindariku sayangnya bus terlalu penuh. Saking penuhnya lagi-lagi mau tidak mau kami harus berdiri bersebelahan. Keheningan menyelimuti kami. Keheningan baru terpecahkan saat Aku bersin. Bima melirikku. Ia memandangi wajahku lama. Aku tidak mengerti kenapa Bima menatapku sampai segitunya jadi aku mengalihkan pandangan tidak peduli ke bagian belakang bus.
Ada penumpang baru turun. Meninggalkan kursi kosong di samping segerombolan preman bertato. Banyak penumpang lain yang melirik bangku kosong itu sepertiku, tapi tidak ada yang bergerak mendekati. Pikirku kalau tidak ada yang mau, aku saja yang duduk di situ.
Aku melangkahkan kaki kebelakang. Langkah kakiku berhenti gara-gara seseorang tiba-tiba menarik bagian belakang kerah bajuku. Orang itu baru melepaskan kerahku setelah aku mengeluarkan suara kambing tercekik. Aku menoleh kebelakang. Tau-tau sekelebat ujung lengan baju mengusap hidungku kasar. Di saat yang sama tasku ditarik kesamping hingga aku terpaksa berdiri di sisi yang berlainan dari tempatku sebelumnya.
"K..Kenapa?" Tanyaku gagap tidak mengerti. Satu tanganku mengelus hidung sementara satu tanganku lagi mengelus leher. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Bima.
Mungkin gara-gara pandangan matanya yang berapi-api atau karena energi suara hatinya sangat besar, aku sampai bisa mendengar suara dewa mengaum dari hatinya. Maksudku Bima diam saja, tapi tatapan matanya seakan berteriak, 'Hidungmu meler! Duduk di samping preman itu bahaya, bego!'
Oh ya? Tapi kok preman bertato di perumahanku malah yang paling rajin ikut ronda dan kegiatan kerja bakti ya? Seakan ia juga bisa mendengar suara hatiku, Bima menggertakan gigi kesal. Lalu ia tiba-tiba mengungkit-ungkit masa SD yang rasanya sudaaaah lama sekali itu. Bima mengungkit soal aku yang sewaktu SD tidak pernah sadar kalau barang-barangku disembunyikan oleh anak-anak nakal di kelas dan soal aku diam-diam di panggil cebol oleh mereka.
Tunggu, aku di panggil cebol? Aku baru tau. Yah, namanya juga sebutan diam-diam di belakangku jadi mana aku tau. Bima mendengus. Ia menunggu-nunggu reaksiku. Aku diam saja. Setelah semenit kupikir. Biar saja aku di panggil cebol. Toh aku nggak benar-benar cebol. Aku mungkin memang yang paling pendek diantara mereka tapi TIDAK terlalu pendek.
Kalau soal barang-barangku yang disembunyikan? Pada dasarnya aku pelupa. Jadi mau disembunyikan atau tidak, kebanyakan barang-barangku akan berakhir hilang juga. Lagipula, setauku kebanyakan anak-anak nakal itu pada akhirnya mengembalikan barangku. Mereka bosan kali karena bukannya nangis, marah atau merengek-rengek aku justru diam saja.
Tanggapanku tampaknya sangat tidak memuaskan Bima. Dia berharap apa? Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Kalau dulu saja aku tidak marah masa' baru sekarang aku marah. Lagian mau marah-marah sama siapa? Aku aja enggak ingat nama orang yang dulu menggangguku.
Aku jadi teringat Bima yang dulu. Ia pernah tanya padaku sewaktu kami masih duduk sebangku, kamu suka di olok-olok? Tentu kujawab enggak. Tentuuunya lagi, Bima tidak percaya.Didalam bus, kami terdiam lagi selama beberapa menit. Di menit kelima aku di plototi lagi. Kenapa lagi? Pikirku heran.
"Ngapain kamu nyanyi nggak jelas?" Gerutu Bima.
Nyanyi? Aku nyanyi? Oh,-oh pasti kebiasaanku bersenandung pelan setiap bengong kumat lagi.
"Kamu nyanyiin lagu apa? Soundtrack film Shaolin?" Lanjut Bima.
"Aku nggak nyanyi lagu mandarin kok." Jawabku bingung sambil menggeleng. Rasa-rasanya tanpa sadar aku selalu menyanyikan lagu bahasa Inggris. Apa Bima tidak bisa membedakan antara bahasa Inggris dan bahasa Madarin? Padahal setauku ia pintar.
Bima ngangkat satu alis. Lagi-lagi dia nggak percaya.
Aku mulai nyanyi lagi (nyanyi dengan kesadaran penuh, bukannya setengah bengong) untuk membuktikan ke Bima kalau aku nggak menyanyikan lagu soudtrack film kungfu.
Mendengarku nyanyi, ekspresi wajah Bima persis seperti ekspresi guru bahasa Inggrisku tiap mendengar aku maju pidato. Selesai aku bernyanyi pelan. Penumpang dalam radius sejengkal dari tempatku berdiri bergetar-getar menahan tawa sambil melirikku setengah cekikikan.
"Suaraku jelek ya Bim?" Bisikku gugup malu," Kok pada ngetawain ya?"
"Jelek! Lagian ngapain kamu pakek nyanyi-nyanyi segala? Ini kan di dalam bus!" Sahut Bima.
Mata Bima tampak nanar. Entah ia nahan ketawa sampai keluar air mata, speechless atau shock mendengar suaraku.
Untungnya walaupun aku dirudung malu gara-gara diketawain separo penumpang di bus, Bima tetap berdiri disampingku. Bima baik kan? Kalau ia jahat sudah daritadi ia mendeklarasikan ke seluruh penumpang bus kalau kami tidak saling mengenal atau ngotot berjalan pelan-pelan melipir ke bagian belakang bus supaya tidak perluh dekat-dekat denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...