Sewaktu hendak turun dari bus, tanpa sengaja aku melangkahkan kaki kanan terlebih dulu. Dengan sukses aku terjerembab ke aspal dengan posisi muka dibawah. Untung ada Bima. Biasanya Bima turun bus lebih dulu dari aku, tapi hari ini beda soalnya aku turun lebih awal karena mau mampir ke Pet Shop.
Kakiku kananku keseleo. Jalanku jadi susah. Bima memang membantuku bangun dari aspal dan naik ke bus lagi tapi ia boro-boro tanya apa aku tidak apa-apa. Ia cuma bilang, "Makanya hati-hati!" Itupun Bima ngomong dengan nada galak.
Bima tidak membantuku berjalan tapi ia menemaniku sampai ke rumah. Bima membantu membawa ranselku. Kata Bima tasku berat sekali. Dia tanya aku mau berangkat sekolah atau naik gunung. Bima juga bilang, sekarang ia tau kenapa aku pendek.
Ini pertama kalinya Bima datang kerumahku tapi bukan pertama kalinya Bima bertemu dengan ibuku. Bima pernah bertemu dengan ibuku beberapa kali waktu SD. Setiap ada kegiatan lomba atau pertemuan orang tua murid.
Dulu waktu pertama kali bertemu dengan Bima, ibu bilang Bima ganteng sekali. Kata ibu kalau suatu saat aku punya adik, ibuku pingin adikku mirip dengan Bima.
Oh ya, ibuku senang sekali ketemu Bima. Sebagai tanda terimakasih sudah nolongin aku, Bima disuguhi kue ini itu. Sambil mengobati kakiku ibuku mengajak Bima ngobrol panjang lebar di ruang keluarga. Aku tidak menyangka, Bima yang biasanya pelit menanggapi anak perempuan (Padahal kalau dengan anak laki-laki, Bima bisa ngobrol normal) ternyata bisa mengobrol akrab dengan ibuku. Aku sampai ternganga.
Begitu ibuku ke dapur. Bima balik jadi normal lagi. Ekspresi wajahnya jadi galak lagi. Apalagi waktu aku basa-basi tanya tentang ibunya. Bima sama sekali tidak mau menanggapi. Parahnya, ibuku tidak juga balik-balik dari dapur. Aku terjebak berdua dengan Bima di ruang tamu. Bingung harus melakukan apa. Mana kakiku masih sakit. Jadi, kutunjukan saja album foto yang ada di rak kecil disamping sofa. Eh, Bima malah tambah cemberut. Mungkin gara-gara yang kutunjukan itu album foto ayahku sewaktu beliau masih muda.
Akhirnya ibuku kembali lagi dari dapur. Beliau membawa surat ijin supaya besok aku libur dulu. Ibu menitipkan surat ijinku ke Bima. Aku bilang, tidak perluh! Soalnya di kelas 9, kami beda kelas lagi. Kan aneh kalau Bima datang ke kelasku membawa surat ijin. Semua anak akan bertanya-tanya kenapa Bima yang mengantar surat ijinku. Bisa-bisa kami berdua jadi bahan ledekan lagi.
Bukannya kompak denganku, Bima malah mengiyakan. Bima benar-benar berubah. Padahal dulu ia benci sekali diolok-olok.
Apa kalau bertambah umur semua orang berubah? Kok aku enggak?
Ngomong-ngomong, mata Bima melotot waktu melihatku mengeluarkan HP. Bima tanya kenapa aku nggak pernah bilang kalau aku punya HP. Ya kujawab, karena Bima tidak pernah tanya. Bima mendengus sambil merobek kertas dari bukunya. Bima menyerahkan sobekan kertas tanpa menatapku. Dia minta aku nulis nomer HPku disana. Aku tanya, buat apa? Bima jawab, pokoknya tulis!
Malamnya Bima menelpon. Ternyata beda sekali antara mengobrol lewat telepon rumah dan telepon HP. Kalau lewat telepon rumah, kami bicara tidak lebih dari semenit sementara ayahku pura-pura batuk dibelakangku sekalian numpang nguping. Kalau lewat HP, nada suara Bima lebih santai. Ia tanya keadaan kakiku, aku jawab baik. Lalu Bima tanya keadaan kucingku. Yah kujawab baik. Aneh juga, baru kira-kira 3 jam yang lalu Bima mengelus-elus kucingku. Jelas-jelas dia tau kucingku sehat walafiat. Ngomong-ngomong, satu hal yang sama dari cara Bima telepon rumah atau telepon HP adalah dia langsung matiin telepon tanpa ijin. Jadi aku yakin, Bima pasti tidak tau cara berpamitan lewat telepon yang baik dan benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...