"Telepon Gibran sekarang." Perintah Bima begitu kondisi dalam mobilnya lebih terkontrol setelah Nana berhenti bergerak salah tingkah dan Bima berhasil menguasai dirinya lagi.
"Aku nggak punya nomornya." Nana membuang wajah seperti anak kecil.
"Betulan?" Alis Bima terangkat curiga.
Nana mengangguk.
"Kamu nggak tau nomer handphone Gibran?"
"Pernah di kasih tapi lupa."
Bima menahan seringai. Walaupun ia masih jengkel, ada sedikit rasa lega di sudut bibir Bima.
"Kita balik ke sekolah sekarang. Gibran mungkin masih disana."
"Kaya'nya nggak mungkin Bima.. Tangan Gibran luka lumayan parah. Pasti dia udah pulang." Jawab Nana gelisah.
Rahang Bima mengeras. Bima tidak akan membiarkan Nana mulai merasa kasihan lagi pada Gibran.
"Paling lambat BESOK. Kamu harus batalin semuanya di depanku." Perintah Bima.
"Di depanmu?" Mata Nana melebar," Nggak boleh kuselesaikan sendiri ya?"
"Nggak."
Esoknya saat Bima menjemput Nana, dalam sekali melihat Bima tau Nana tidak tidur semalaman. Wajahnya kuyu. Bima menggertakan gigi. Apa susahnya membatalkan janji sampai tidak bisa tidur.
Keadaan tidak makin baik begitu Bima sampai di sekolah. Begitu Bima masuk kelas beberapa pasang mata langsung mencuri pandang kearahnya sambil berbisik-bisik.
Bima tidak betul-betul peduli sampai salah satu orang bicara cukup keras berkata," Si Anna betulan jadian sama Gibran, Bim?"
Seketika Bima membeku. Jarinya terkepal kuat.
"Dengar darimana?" Tanya Bima berusaha memasang wajah tanpa ekspresi.
"Beritanya udah nyebar. Denger-denger Gibran ngadain syukuran jadian segala. Jadi bener ya?"
Seketika Bima ingin tertawa. Sekejam-kejamnya pikiran Bima, ia tidak pernah sampai sengaja cari celah, memanfaat rasa bersalah, menjebak lalu menyebarkan berita untuk membuat segalanya makin kacau.
Bukannya Bima tidak menyangka kalau hal ini bisa terjadi, hanya saja ia tidak menyangka ternyata lawannya serendah ini.
Gibran.
Nama itu muncul dalam kepalanya dalam bentuk yang menjijikan.
Pengecut.
Manipulatif.
Saat ini juga, Bima yakin berita ini sekarang pasti sudah sampai juga ke Nana. Nana pasti bingung, tidak tau harus bilang apa, terjebak rasa bersalah.
Sayangnya Nana terlalu baik untuk membongkar perjanjian bobrok ini ke semua orang. Sekarang mustahil ia membatalkan semuanya tanpa rasa bersalah, tanpa mementingkan perasaan dan memikirkan isi pikiran orang lain.
Untuk pertama kali lagi, Bima berharap seandainya Nana sekejam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...