Mata Nana membulat lebar begitu matanya bertatapan dengan Bima. Ia terdiam mematung di depan pintu. Bima berdeham, mempersilahkan Nana duduk. Bima berkeras bersikap normal. Bertekad berpura-pura tidak mengenal Nana. Nana jelas berpikiran sama. Sepanjang deposisi, Nana mengalihkan pandangan sejauh mungkin. Bersikap formal dan bicara seperluhnya. Pengendalian diri Bima jelas ratusan kali lebih baik dari saat ia masih remaja dulu. Karena sekarang ia berhasil menjalankan konferensi prasidang nyaris deperti biasanya.
Selama sebelas tahun Bima berusaha meninggalkan Nana. Bima tidak mau waktu sebelas tahunnya terbuang percuma hari ini. Tapi siapa juga yang menyangka kalau ia akan bertemu lagi dengan Nana? Disini, di dalam ruang rapat kantor Bima. Berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari kota kelahiran Nana.
Konferensi prasidang nyaris berakhir sesuai rencana seandainya klien Bima, Herman tidak tau-tau bicara. Mengatakan Nana menunduhnya melakukan sexual harrasment untuk memeras uang.
Mendengar tuduhan itu, wajah Nana yang tadinya pucat berubah merah. Ia menggeleng lalu mengalihkan wajah dengan ekspresi yang sama seperti yang pernah Bima lihat sewaktu ia mengusir Nana dari rumahnya di hari yang hujan itu.
Pertahanan Bima jebol. Detik berikutnya yang Bima sadari, ia sudah melayangkan pukulan telak di wajah Herman. Tidak peduli ia salah satu pimpinan perusahaan asuransi besar. Bima bahkan lupa, Herman adalah salah satu klien pentingnya.
Bima mengutuki ketololannya. Percuma juga ia lulus dalam predikat cum laude kalau emosinya bisa lepas kontrol saat itu. Perjanjian kerja di hentikan seketika dan sekarang Bima tidak punya akses apapun pada nasib Nana.
Begitu kekacauan berhasil di bereskan, Bima langsung mengunci diri di ruang kerja. Ia menumpukan telapak tangannya pada wajah. Bima capek dan banyak pikiran. Ditambah setelah bekerja ia masih harus mengejar tugas kuliah S3.
Selama beberapa saat, Bima mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecek ayahnya lewat tayangan cctv di handphone. Ayahnya sedang duduk di sofa ruang keluarga. Terdiam melamun tanpa melakukan apa-apa. Beliau mulai pikun dan tidak seperti dulu. Beban pikiran Bima malah bertambah, ia mengingat lagi tekadnya untuk membanggakan ayahnya sebelum waktu beliau habis. Masalahnya, baru saja Bima mengacaukan nyaris segalanya.
Menit berikutnya, Bima mengecek email dan pesan singkat. Semuanya kabar formal dan selalu berhubungan dengan pekerjaan. Sudah lama Bima menutup diri dari dunia. Bima tidak mau bergantung pada apapun. Orang pada akhirnya datang dan pergi. Tidak ada yang betul-betul tinggal. Buat apa menghabiskan waktu untuk orang yang suatu saat pasti pergi? Kecuali mungkin ayahnya, karena ia masih keluarga Bima.
Bima biasanya selalu menang. Ia bisa mengendalikan perasaannya. Pura-pura tidak peduli, sampai ia berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia memang tidak peduli. Sejauh ini Bima berhasil. Selama Bima tidak menatap langsung wajah Nana. Kenapa Nana harus disini muncul kembali. Padahal Bima sudah pergi cukup jauh, cukup lama menghindari kelemahan terbesarnya.
Esok paginya, Bima terbangun dengan kepala pening dan badannya terasa berat.
"Mas Bima nggak apa-apa? Kok wajahnya pucat?" Tanya Bu Yani pengasuh ayahnya saat melihat Bima membuka pintu lemari es mengecek bahan makanan yang akan ia buat untuk sarapan ayahnya. Bima menggeleng sambil mengerluarkan tomat. Sayangnya tomat itu jatuh dan menggelundung di lantai.
"Duh mas, ini tomatnya jatuh! Mas Bima betulan nggak apa-apa? Kayaknya mas Bima sakit. Istirahat dulu aja mas. Biar sarapan hari ini saya yang buat."
"Nggak apa-apa bu. Saya nggak apa-apa." Ujar Bima tegas. Bu Yani langsung terdiam. Beliau tau betul majikannya keras kepala.
Bima memaksakan dirinya memasak dan melakukan aktivitasnya yang biasa. Bima suka melakukan semuanya sendiri.
Begitu selesai, Bima tidak lagi bisa berpikir jernih. Sudah keajaiban ia bisa menyetir mobilnya ke kantor dan masuk ke ruangannya tanpa jatuh. Begitu ia duduk, tanpa sengaja ia melihat kartu nama Herman di atas meja. Mau tidak mau pikirannya yang sudah keruh tertuju pada Nana.
Tanpa sadar Bima menghubungi kantor Nana. Suara costumer service menjawab teleponnya. Ketika Bima menyebut nama Nana dan meminta siapapun disana untuk menghubungkan telponnya, costumer service itu menolak. Ia bilang; Anna Aileen sudah tidak lagi bekerja disana.
Bima tetap memaksa. Siapa tau mereka salah. Tapi orang di balik telepon menolak dan mengulang kembali kalimat yang sama. Detik itu juga Bima sadar, mungkin Nana sudah dipecat dan itu mungkin juga karena............dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Ficção AdolescenteSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...