November 2006

2.5K 446 35
                                    

Bima POV

"Kenapa nggak beli yang baru?" Tanya Bima melihat tempat pensil Nana yang sedikit robek di bagian ujung. Itu tempat pensil yang sudah di pakai Nana sejak  SD.

"Masih bisa di pakai kok." Gumam Nana tanpa mengalihkan pandangan dari buku latihan soal olimpiade.

"Kenapa?" Tanya Bima, ia menjulurkan tangan untuk meraih tempat pensil Nana. Tanpa sengaja tangan Bima menyenggol lengan Nana. Nana meringis sedikit. Baru Bima sadar ada bekas luka lecet sepanjang lima senti di lengannya.

"Kamu jatuh lagi?" Kemungkinan Nana jatuh lagi membuat Bima tanpa sadar jengkel.

Nana menggeleng, "Aku dicakar kucingku."

Teman sebangku Nana, Sarah tiba-tiba memotong pembicaraan, "Kucingmu suka banget nyakar ya? Kucing kaya' gitu kan nyebelin Na. Buang aja cari yang baru. Cuma kucing ini."

"Nggak mau."

"Ini kan cuma kucing. Bukan suami."

Nana menggeleng, "Senyebelin apapun nggak akan kubuang."

"Kalau suamimu nyebelin? Kamu tinggalin nggak?" Sela Sarah. Entah di sengaja atau tidak mata Bima dan Sarah tanpa sengaja bertatapan. Sarah buru-buru menunduk gugup.

Nana mendongak sesaat dari buku latihan soalnya, "Nggak akan." Jawabnya sambil menggeleng.

*******

Untuk pertama kalinya aku melihat  rumah Bima. Rumah Bima bernuansa pastel dengan dinding dominan berwarna putih gading dan berlantai kayu.

Bima melangkahkan kaki di depanku. Tanpa bicara ia menyuruhku duduk di ruang keluarga sementara ia entah menghilang kemana di balik koridor.
Aku tengok kanan kiri bingung. Rumah Bima sepi. Hanya ada satu orang yang kutemui sejak masuk kedalam rumah, namanya pak Nugroho. Beliau yang katanya biasa membersihkan rumah Bima.

Ibuku pasti khawatir kalau beliau tau aku pergi ke rumah anak laki-laki sendirian, tapi aku yakin begitu beliau tau rumah yang kudatangi itu rumahnya Bima pasti ibuku malah bahagia. Iyalah bahagia, soalnya menurutku temanku yang paling disukai ibuku, ya Bima.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang