Akhir-akhir Bima sering mengulang ingatannya kebelakang. Bagaimana caranya ia bisa hidup tanpa Nana selama sebelas tahun? Karena kalau di ingat, semua usaha yang pernah Bima lakukan kelihatan mustahil karena ia tidak pernah suka anak perempuan lain seperti ia menyukai Nana.
..................
Tanpa sadar aku melirik Bima, yang duduk serius membaca berkas-berkas kantornya di teras samping rumah, dari balik pot tanaman hidproponik pak Ilyasa. Tanpa peringatan, Bima tiba-tiba balik menatapku. Aku buru-buru pura-pura sibuk menyirami tanaman. Lima menit kemudian, tanpa sadar aku menatap Bima lagi,-Bima masih juga sibuk kerja di hari minggu. Mata kami bertatapan lagi, Aku buru-buru sok sibuk lagi. Selalu begitu berkali-kali.
"Kenapa? Kalau mau bicara kesini." Perintahnya.
Aku pura-pura tidak dengar, Bima mengerutkan kening lalu mengalihkan lagi perhatiannya pada berkas.
Tidak terasa sudah sebulan aku kerja di rumah Bima. Aku terlalu nyaman di sini padahal aku kuliah 4 tahun lamanya bukan untuk pekerjaan jenis ini. Walaupun seandainya ibuku tau aku berkerja sebagai pengasuh ayah Bima, beliau pasti tidak akan banyak protes. Masalahnya ada di ayahku. 'Pengasuh' jelas nggak di anggap sebagai pekerjaan 'betulan' oleh beliau.
Selain orangtuaku, Sarah juga masih suka menelponku. Ia sering menanyakan kabarku. Anehnya, Sarah tau aku di pecat padahal aku tidak pernah cerita padanya. Waktu kutanya, Sarah tidak pernah mau menjawab ia tau darimana.
Tadi pagi Sarah juga menelponku, katanya di rumah sakit tempatnya bekerja membuka lowongan. Sarah merekomendasikan aku ke pihak HRD rumah sakit dan aku diminta kembali ke rumah.
"Rumah sakitnya kan deket rumah orangtuamu. Kamu nggak perluh lagi nyewa apartemen, Na. Jadi kan lebih hemat. Lagian aku yakin kok kamu bakal di terima. IPKmu kan setinggi itu. Mana kamu cantik lagi. Gampang kan?" Ujarnya.
Aku ingin menjawab, tidak gampang sama sekali, tapi aku tidak bisa. Berat rasanya meninggalkan ayah Bima, aku terlanjur akrab dengan beliau. Lebih berat lagi meninggalkan Bima. Aku khawatir padanya.
Malam harinya seperti biasa Bima mengantarku pulang. Biasanya kami langsung pulang tapi hari ini tau-tau Bima mengajakku ke kantornya. Waktu Bima membuka salah satu pintu ruang kantor, aku di kejutkan dengan wajah Pak Herman ditemani satpam dan satu orang lagi yang tidak kukenal. Aku nyaris berteriak, jahat sekali Bima menunjukan muka pak Herman ke depanku.
Satu-satunya yang membuatku tidak segera lari pergi adalah karena pak Herman tiba-tiba menunduk minta maaf. Bima menatapnya kejam sambil memberiku setumpuk kertas. Isinya potongan pesan tidak sopan pak Herman yang beliau pernah kirimkan ke handphone kantorku yang lama. Darimana Bima mendapatkan ini? Padahal aku hanya pernah cerita sekilas ke Bima soal pesan singkat pak Herman dan itu sudah berminggu-minggu yang lalu.
Sambil minta maaf, Pak Herman memohon-mohon supaya Bima tidak melaporkan bukti-bukti pelecehannya ke pihak berwajib. Aku terdiam cukup lama, teringat wajah istri pak Herman yang pernah kutemui di kantor.
"Ya. Asal jangan di lakukan lagi." Aku mengangguk memaafkannya.
Bima melotot jengkel padaku. Awalnya aku ingin buru-buru keluar dari ruangan tapi Bima keburu menarik tanganku. Bima memerintah pak Herman menandatangi surat perjanjian di hadapanku dan saksi.
"Kenapa Bima buka kasus ini lagi?" Tanyaku begitu kami didalam mobil.
"Karena dia harus tanggung jawab pada perbuatannya."
"Makasih Bima." Aku terdiam sesaat kehabisan kata-kata,"Aku baru tau Bima bisa ngehack jaringan komunikasi."
Bima mendengus,"Bukan aku, tapi saksi laki-laki yang kamu liat tadi."
"Oh." Aku mencoba mengingat-ingat wajahnya tapi Bima terus menepuk-nepuk puncak kepalaku. Aku jadi tidak bisa fokus.
"Jangan coba ingat-ingat wajahnya." Ancam Bima.
"Kenapa?" Tanyaku heran. Oh, aku mulai agak ingat sekarang,-aku memang susah ingat wajah orang yang baru kutemui sekali. Aku ingat ia berkacamata dan kelihatan kaget saat melihat wajahku.
"Karena dia laki-laki."
"Memang kenapa?" Tanyaku bingung.
"Karena aku NGGAK SUKA." Jawab Bima galak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Novela JuvenilSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...