Desember 2018- 1

2.9K 431 3
                                    

Sebelas tahun....











"Yang penting Bima sekarang ada disini. Jangan pergi tanpa kabar lagi ya Bima..."

"Pak Nugroho bakal ngantar kamu pulang." Potong Bima tajam.

"Sekarang? Kenapa?" Mata Nana membulat kaget,"Tapi masih banyak yang mau kubicarakan sama Bima."

"KAMU HARUS PULANG. SEKARANG." Bentak Bima.

Raut Nana berubah. Perlahan Nana berdiri sambil memandang Bima tanpa suara. Hebatnya, tanpa suara saja Nana bisa menghantamkan rasa bersalah yang luar biasa pada Bima. Bima membentak Nana sekali lagi. Nana sontak mengalihkan pandangan. Sekilas Bima menangkap ekspresi itu. Wajah ingin menangis Nana. Nana tidak mungkin nangis kan? Anak seperti Nana pasti cepat melupakan masalah. Nana pasti bisa melanjutkan hidupnya tanpa Bima. Untuk yang terakhir, Bima melihat Nana. Nana membuka pintu kemudian menoleh kebelakang menatap Bima sesaat sebelum menghilang di balik pintu.

"NANA!" Bima berteriak hingga tersentak bangun dari tidur. Nafas Bima memburu. Pelan-pelan Bima mengatur nafas. Mengingatkan diri sendiri kalau yang barusan cuma mimpi. Mimpi yang memang pernah terjadi. Tapi itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu saat Bima masih berumur lima belas tahun.

Bima tertawa sinis. Lucu juga, sekarang Bima sudah berumur dua puluh enam tahun dan kadang masih dimimpikan mimpi buruk yang sama; Ekspresi Nana sewaktu menutup pintu rumahnya untuk terakhir kali.

Bima sadar tetap berbaring di kasur tidak akan membantu otaknya berpikir jernih. Jadi Bima beranjak bangun. Tidak peduli hari masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas rutinnya, memasukan baju kotor ke mesin cuci, mengelap mobil, memasak untuk ayahnya dan memastikan cctv rumah bekerja dengan benar supaya Bima bisa mengecek kondisi ayahnya lewat handphone.

Ayah Bima kini tidak sekuat dan semuda dulu. Karena itu Bima juga menyediakan orang untuk menjaga ayahnya sekaligus untuk bersih-bersih di rumah selama ia bekerja. Karena ayahnya walaupun sudah tua tetap saja masih suka bergerak kesana kemari.

Hari ini harusnya berlangsung normal seperti biasa. Bima sampai ke kantor biro pengacara, yang dulu milik ayahnya dan sekarang di bawah pimpinannya. Salah satu kliennya hari ini bernama Herman-yang Bima secara pribadi tidak suka tapi ayahnya sudah menjadi pengacara perusahaan beliau cukup lama, mengadakan pertemuan.

Sebelumnya Bima sudah membaca laporan kasus Herman secara singkat. Tidak betul-betul memperhatikan karena dua hari ini pikiran Bima agak lebih teralih ke kasus lain yang skalanya lebih besar. Dalam kasus ini Bima sebagai selaku pengacara Herman. Sekarang Bima menyempatkan membaca lagi. Kali ini lebih teliti. Mata Bima melotot begitu ia sampai pada daftar pihak terkait; Anna Aileen.

Sontak Bima mencengkram kertas itu kuat-kuat sementara kliennya-Herman bicara panjang lebar di depannya. Bima terlalu hafal namanya. Seberusaha apapun Bima tidak akan pernah melupakan nama itu. Ini salah Bima yang teledor menerima kasus ini tanpa memeriksa lebih teliti. Karena dari awal Bima menerima klien ini atas dasar melanjutkan keloyalan ayahnya pada perusahaan- perusahaan dan orang tertentu. Tapi kali ini, orang di hadapannya tidak tau Bima kemungkinan besar mengenal secara pribadi pihak tertuntut yang harusnya tidak boleh terjadi.

"Tuduhan pencemaran nama baik." Ucap Bima kaku. Tanpa sadar menyebut inti permasalah kasus ini. Dengan pihak penuntut Herman dan pihak di tuntut, Anna. Inti permasalahan, kliennya menuntut pihak Anna telah melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh Herman melakukan pelecehan seksual.

"Pihak tertuntut, mengadukan anda melakukan pelecehan seksual di ruang kerja anda pada minggu pertama bulan desember pada perwakilan personalia, betul?" Bima membaca laporan.

"Betul, tapi ya nggak mungkin lah saya melakukan pelecehan seksual ke karyawan saya sendiri." Bantah pak Herman.

"Dalam hal ini anda menyatakan bahwa pihak tertuntut mengajukan pengaduan palsu tapi atas dasar apa?"

"Saya juga belum tau. Mungkin niatnya untuk mencemarkan nama baik saya dan perusahaan. Padahal dia karyawan baru kerja berapa bulan!" Cibir pak Herman.

Bima memijat keningnya. Stress. Ia pernah menjadi pengacara pencandu narkoba, pelaku kekerasan, pembunuhan tapi mereka semua mempunyai alasan kuat kenapa melakukannya. Penyebabnya masih bisa termaafkan untuk standar Bima. Tapi apa jaminannya kasusnya kali ini juga bisa ia terima?

Berulang kali Bima menegak kopi dari staffnya lalu mengetuk-etukkan jari gelisah. Berapa besar kemungkinannya kalau ini 'Anna' yang lain? Bima membolak-balik berkas dengan agak kasar. Pikirannya kacau. Apa ini maksud mimpinya tadi pagi? Sebagai pertanda Anna yang ia kenal menyusup ke hidupnya lagi setelah sekian lama dengan cara tak terduga.

Pukul 11.15

Petugas stenogafer dan notaris sudah masuk kedalam ruangan. Sebentar lagi konferensi prasidang akan di mulai.

Pukul 11.17

Bima nyaris meremukan berkas yang ia pegang. Bima berusaha tenang tapi terlalu sulit. Setelah sebelas tahun Bima mungkin benar-benar akan bertemu lagi dengannya, orang yang mati-matian Bima coba untuk lupakan.

Pukul 11. 20

Herman menatap Bima dengan kening berkerut kesal. Bima sadar dirinya hari ini tidak tampak setenang dan seprofesional biasanya. Bima tau tanpa orang di hadapannya berkata frontal, bahwa beliau mau bagaimanapun caranya Bima harus memenangkan kasus ini.

Pukul 11.25

Bima mendengar langkah kaki. Pintu di hadapannya terbuka dan kemudian Bima melihatnya berjalan masuk. Perempuan berambut coklat gelap di ikat formal. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Orang di hadapannya mungil dan berwajah seperti permen. Manis seperti permen.

Dan sayangnya ia memang Nana yang Bima kenal.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang