Aku masih ingat, dulu setiap di dekat Bima aku bisa bicara panjang lebar apa saja yang paling tidak penting sekalipun. Sekarang, Bima nyaris seperti orang asing yang tidak pernah kukenal sedang duduk di sofa ruanganku. Sikap Bima juga tidak membantu. Bima duduk diam kaku. Dia tidak kelihatan canggung tapi di saat yang sama juga tidak kelihatan santai.
Aku memang pendiam tapi aku juga bisa tidak tahan terjebak dalam suasana hening seperti ini. Masalahnya mau membicarakan apa? Masa lalu menyakitkan. Masa sekarang? Enaknya mau membicarakan soal aku baru di pecat atau Bima habis memukul kliennya? Tidak ada yang bagus. Masa depan sendiri juga tidak pasti. Bisa saja ini juga terakhir kalinya aku bertemu dengan Bima lagi. Jadi buat apa membicarakan masa depan?
Satu-satu gerakan yang Bima lakukan setelah lima menit adalah ia melepas beberapa kancing kemeja putih gadingnya. Itu masih kemejanya yang tadi malam. Aku mengatupkan bibir rapat saat Bima menggulung lengan kemejanya. Gerakan sesepele itu membuatku memikirkan hal tolol. Aku menelan ludah lalu buru-buru mengalihkan pandangan salah tingkah. Pasti gara-gara aku 26 tahun tidak pernah punya pacar. Fakta ini juga yang membuat orangtuaku was-was.
Sewaktu aku baru lulus kuliah satu-satunya yang di tanyakan orangtuaku adalah kapan aku punya pacar, kapan aku menikah dan paling seputar-putar itu. Karena tidak tahan mendengar mereka mengeluh soal itu akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di luar kota.
Untuk mengalihkan pikiran, aku menyiapkan minum dan makan siang seadanya untuk Bima karena pada dasarnya aku tidak bisa masak. Bukannya diam saja di tempat, Bima malah mengambil alih tempatku. Tanpa basa-basi Bima memasak nasi goreng sementara aku hanya bengong tolol di sampingnya. Mau tidak mau aku tersingkir lagi dan baru ingat aku belum mandi.
Bima selesai masak bersamaan dengan aku selesai mandi. Aku memakai baju kemeja dan celana jeans. Aslinya aku ingin memakai baju katun tapi rasanya tidak pantas memakai pakaian non formal di saat seperti ini. Lalu mau tidak mau juga aku terpaksa harus duduk di sofa dekat Bima karena itu satu-satunya tempat duduk di apartemenku.
"Kenapa Bima tau-tau datang ke sini?" Tanyaku mencari bahan pembicaraan.
Bukannya menjawab, Bima malah mendelik dan memerintahku makan. Padahal dia sendiri tidak menyentuh masakannya sama sekali. Lagi-lagi tanpa sadar aku memperhatikan wajah Bima. Wajah Bima masih agak pucat. Ragu-ragu aku menyentuh lengan Bima kemudian keningnya. Bima menatapku waspada, tapi ia tidak bergerak. Ternyata suhu Bima masih hangat.
Jadi pertama-tama aku minta Bima menggunakan kamar mandiku dan kupinjamkan baju ayahku. Ajaibnya Bima menurut. Aku menunggu Bima selesai mandi. Begitu selesai Bima duduk di sampingku lagi.
Kaus papaku agak kekecilan untuk Bima. Wajar karena Bima jauh lebih tinggi dan besar di banding dulu. Aku berkali-kali mengingatkan diriku dalam hati bahwa Bima sekarang laki-laki dewasa. Semirip-miripya wajah Bima saat ini dengan yang dulu, tetap saja tidak bisa menghilangkan garis dewasa dalam wajah, tubuh, tingkah laku dan gaya berpakaiannya.
Sayangnya lagi aku tidak bisa berpura-pura tidak peduli sama sekali pada Bima jadi aku balik memaksa Bima untuk makan kemudian aku memberinya kompres dan obat penurun panas lagi.
Bima terdiam menatap obat yang kusodorkan kemudian menatapku,"Kamu di pecat kan?"
"Kamu tau darimana?" Tanyaku gugup. Aku bisa mencium aroma sabun mandiku dari Bima. Tapi entah kenapa terasa berbeda dari aroma yang menempel di badanku.
"Tadi kamu bilang." Jawab Bima ketus setelah terdiam selama beberapa detik sambil mengusap kasar rambut hitam gelapnya yang sedikit lembab ke belakang.
"Oh." Bisikku. Bodohnya, buat apa aku mengaku di pecat ke Bima?
"Kenapa kamu nggak pulang ke rumahmu?" Tanya Bima galak.
"Nggak mau." Aku menggeleng sambil mengalihkan wajah. Aku merasa tidak perluh menjelaskan alasan pribadiku pada Bima.
"Apa sekarang kamu punya sumber penghasilan dari tempat lain?" Nada suara Bima berubah semakin formal seperti kami sedang berada di kantor.
Aku menggeleng. Menyadari tanggapanku, aku jadi malu sendiri. Agak menyesal menjadi orang yang terlalu jujur.
Bima langsung tampak marah, ia terdiam lama sekali membuatku mati kutu. Tanpa sadar aku menggigit bibir dalam-dalam sambil melirik Bima takut-takut. Bima membalas tatapan takutku dengan mata berkilat jengkel.
"Aku punya lowongan pekerjaan sementara." Ujar Bima.
Aku tersentak bingung, aku tidak menyangka respon Bima seperti itu, "Lowongan pekerjaan apa?"
"Menjaga orang yang sudah tua. Kamu bisa?" Tanya Bima sebelum menyebutkan nominal gaji yang lumayan besar. Sementara tangannya menulis sebaris nomor telepon yang bisa di hubungi dan email alamat pengiriman berkas lamaran di atas koran di meja depan sofa.
"Siapa itu? Kenapa gajinya setinggi itu?" Tanyaku heran.
"Karena aku kenal beliau." Jawab Bima kaku.
"Oh." Aku mengangguk.
"Pertimbangkan baik-baik." Bima berusaha membuat kalimatnya terdengar tenang tapi aku bisa merasakan nada mengancam dalam suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Ficção AdolescenteSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...