Januari 2007

2.6K 448 36
                                    

Bima sepertinya sadar, akhir-akhir ini aku selalu tiba-tiba jadi gugup tiap disampingnya. Makanya Bima punya hobi baru yaitu melihatku jadi gugup. Kayaknya ia sukaa sekali melihat wajahku merah padam dan kakiku gemetaran. Semakin aku gugup, semakin Bima seneng.

Yang paling parah kalau sudah di bus. Apalagi kalau busnya penuh. Kalau Bima berdiri disebelahku, Bima langsung kuminta berdiri agak jauh. Kalau sedang baik, Bima bakal melangkah satu langkah kesamping dengan muka jahat. Kalau kusuruh berdiri lebih jauh lagi, Bima nggak akan mau.
Kalau Bima sedang iseng, waktu kusuruh menjauh, Bima malah semakin mendekat. Jantungku sampai rasanya mau copot.

Kalau aku yang berusaha menghindar di bus, Bima langsung menarik tasku. Aku di perintah untuk gak kemana-mana. Tau kan, Bima tenaganya sekuat hulk. Tasku di pegangin. Aku betul-betul ga bisa kemana-mana.
Dulu aku biasa saja di samping Bima, tapi sekarang? Rasanya canggung sekali. Seperti mau muntah. Perutku seperti jungkir balik. Waktu kutanya ke mama. Mama malah tertawa terbahak-bahak. Kata mama itu normal. Kata beliau, akhirnya aku jadi normal. Senormal-normalnya anak seumuranku.
Loh? Berarti dulu aku tidak normal?
Sekarang aku mengerti perasaan anak-anak perempuan di sekitarku waktu melihat Bima. Wajah Bima, suaranya, tinggi badannya, auranya semuanya membuat kebanyakan anak perempuan jadi gugup.
Sekarang sepertinya aku mulai memperhatikan Bima dengan lebih detail lagi. Bentuk dagunya, hidungnya, kerutan matanya saat tertawa juga cara Bima menggulung lengan jaketnya.

Gawat. Aku jadi aneh. Maksudku lebih aneh dari sebelumnya.

Makanya aku juga jadi punya hobi baru, menghindari Bima sebisa mungkin di sekolah.

Hari ini, waktu aku melihat Bima muncul di lorong, aku malah lari menghindar. Sarah sampai bingung kenapa ujug-ujug aku lari-lari di lorong.

Aku tidak menjawab pertanyaan sarah tapi malah sibuk memegangi pipiku yang rasanya panas sampai ke ujung kuping sambil duduk di kursi di depan laboratorium. Dari jauh aku melihat Bima melintas di lapangan. Untung Bima tidak liat aku lari-lari kabur darinya.

Masalahnya? Sarah lihat aku lari kabur dari Bima.

"Tumben kamu menghindari Bima?" Tanya Sarah dengan nada menyelidik.

"Kenapa aku gugup waktu ngeliat Bima?" Tanyaku balik.

"Mungkin kamu mulai naksir Bima, Na." Jawab Sarah.

Aku menggeleng," Bukan gitu. Maksudku kenapa aku canggung waktu ngeliat Bima akhir-akhir ini?"

Sarah mendengus,"Mau kamu ganti pertanyaannya jawabannya sama Na, kamu mulai suka Bima."

"Ah, bukan kok." Jawabku sebelum berjalan lagi seperti tidak ada apa-apa.

Memang tidak ada apa-apakan? Aku kan masih anak kecil.

Jadi, siangnya saat aku berpapasan dengan Bima di bawah pohon Mahoni di depan sekolah aku menatap Bima berani.

Nggak ada apa-apa. Sama sekali nggak ada apa-apa. Aku berusaha menenangkan diri dalam hati.

Aku mengingatkan diri kalau Bima salah sedikit teman yang kupunya. Aku nggak boleh menghindari Bima.

"Hai Bim." Sapaku dengan nada datar.
Bima mengangkat alisnya dan mengerutkan kening. Mukanya heran sekali aku nggak gugup seperti akhir-akhir ini.

Karena aku tidak kuat berakting sok tidak gugup, makanya aku segera balik badan hendak berlalu pergi. Tapi Bima keburu berjalan di sebelahku dan dia tertawa sendiri.

Kenapa bima ketawa? Apa yang lucu?

Suara tawa dan wajah Bima saat tertawa menjebolkan pertahanan. Terutama karena Bima jarang tertawa. Kecanggungan yang kututupi setengah mati akhirnya meledak.

Aku mau muntah.

"Bima!" Seruku gugup.

Bima berhenti ketawa, ia tampak kaget aku bisa mengeluarkan suara sekeras ini.

"Kamu mau nggak jadi temenku?"

"Hah?" Cuma itu reaksi Bima.

"Temenku nggak banyak." Gumamku sambil meringis.

Lalu aku menjelaskan pada Bima kalau aku nggak suka gugup di dekatnya. Terutama karena aku juga nggak mau berhenti berteman dengan Bima.

"Kamu masih nggak sadar?" Hanya itu yang Bima katakan.

"Sadar apa?"

Bima terdiam kemudian mendengus.

"Kita bakal temenan sampai tua kan?" Tanyaku gugup.

"Siapa lagi yang mau nemenin kamu sampai tua?"

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang