"Siang ini bapak mau tidur saja di kamar. Kamu ke kantor mas Bima ya? Hari ini gantian bapak yang bawain makan siang buatnya." Ujar pak Ilyasa beliau menunjuk sekotak makanan di atas meja marmer di teras samping.
"Bapak buat sendiri?" Aku tertegun.
"Bapak mana bisa masak? Itu makanan buatan bu Yani." Pak Ilyasa tertawa, "Bapak itu dari muda nggak pernah ke dapur. Bima itu bisa masak karena ibunya. Waktu masih kecil Bima selalu ganggu ibunya di dapur. Bima itu dulu paling manja sama ibunya. Makanya dia tertekan sekali waktu ibunya pergi."
"Sudah sekarang kamu susul Bima ke kantornya. Kalau dia marah-marah bilang bapak yang suruh."
Karena aku masih diam saja pak Ilyasa menggerakan tangan seperti menyuruhku buru-buru pergi, "Sudah sana. Nggak usah khawatir. Bapak kan ditemani bu Yani!"
Perlahan aku menggangguk lalu bergegas memesan taksi. Aku masih ingat lokasi kantor Bima dari kejadian yang terakhir. Untungnya satpam yang sedang berjaga adalah satpam yang dulu pernah kutemui. Aku di perbolehkan masuk menemui front office. Pegawai front office kantor Bima adalah perempuan seumuranku. Dari front office itu, bisa-bisanya lagi aku baru tau. Bima bukan sekedar staff, dia salah satu pimpinan utama di kantor pengacara ini. Sebelum menanyakan namaku, wanita itu menatap bekal makanan yang kupegang kemudian wajahku. Tatapan yang persis sama seperti yang dulu sering kudapatkan kalau aku berjalan di samping Bima.
Tatapan itu tidak berlangsung lama karena aku segera di antarnya menuju ke ruangan Bima. Sewaktu pintu terbuka, aku melihat Bima sudah menungguku di kursinya. Front office jelas sudah mengabari kedatanganku pada Bima.
"Naik apa kamu kesini?" Tanyanya dingin.
"Eh, taksi?" Jawabku gugup. Mata Bima berapi-api lebih dari biasanya. Seandainya itu api betulan aku pasti sudah gosong.
"Aku pernah bilang, JANGAN. PERNAH.PERGI.KEMANAPUN SENDIRIAN." Bima menekan setiap suku kata dengan nada tajam.
"Eee... Yap?" Karena aku nggak mau Bima marah, aku mulai bernyanyi.
Belum dua kalimat lirik lagu kunyanyikan, Bima sudah mendudukanku paksa di sofa. Bima berlutut di depanku dan membekap mulutku dengan telapak tangannya.
"Ini kantor Na." Seru Bima.
"Kalau gitu jangan marah kalau nggak aku nyanyi." Ancamku sambil menyodorkan kotak bekal, "Bapak minta aku ngantar bekal ini."
Alis Bima bertaut. Ia menarik kotak bekal itu kemudian membukanya. Ternyata di dalam kotak bekal itu bukan cuma makanan tapi juga terselip lipatan surat dalam plastik bening kecil. Bima berjalan ke ujung ruangan. Cukup lama Bima terdiam membaca surat itu sebelum ia menarik laci meja kerjanya. Bima mengeluarkan kotak kecil yang kemudian ia serahkan padaku.
"Buka." Perintahnya.
Aku membukanya. Isi kotak itu cincin dengan berlian kecil di tengahnya.
"Pakai."
Aku menatap Bima bingung walaupun pada akhirnya mengangguk menurut juga untuk memasang cincin itu di jari tengahku.
"Cincin nikah itu di taruh di jari manis bukan di jari tengah." Bima menghela nafas sambil menarik jariku untuk meletakan cincinnya di jariku yang benar.
"Apa? Cincin apa?" Tanyaku bingung. Siapa tau aku salah dengar.
"Cincin nikah." Ulang Bima.
"Cincin NIKAH?" Ulangku balik tak percaya.
"Ya. Menikah denganku Na. Temani aku sampai tua." Ujar Bima sebelum mendekatkan wajahnya kemudian mencium bibirku.
Ketika bibir Bima menjauh dari bibirku, aku masih terbengong-bengong. Aku tidak mimpi kan? Pikirku tak percaya.
"Jangan bengong." Ucap Bima. Ia menjauhkan wajahnya dari wajahku tapi aku masih bisa melihat kupingnya memerah.
"Bukannya dulu Bima bilang nggak mau pacaran?"
"Ya."
"Tapi kenapa sekarang Bima bilang mau menikah? Kenapa secepat ini? Kenapa kita nggak pacaran lebih dulu? Kenapa buru-buru menikah?"
"Karena aku nggak bisa hidup tanpamu, Na." Jawab Bima dengan raut serius. Padahal aku sendiri tidak bisa menjaga ekspresi wajahku supaya seserius ekspresi Bima. Bibirku bergerak dengan cara aneh. Aku ingin tertawa tapi juga ingin cemberut.
"Kenapa Bima tiba-tiba berubah pikiran?" Selaku heran.
"Apa kamu mau menikah denganku?" Tanya Bima balik.
Dengan cepat aku mengangguk, "Iya, aku mau."
Bima menggelengkan kepalanya seperti tak habis pikir dengan reaksiku, "Karena ini."
"Karena ini apa?"
"Karena kamu orang paling sabar, yang bisa menerimaku apa adanya. Orang yang paling pemaaf, paling baik, paling aneh, paling lugu, paling ceroboh, paling manis yang pernah kutemui seumur hidup dan karena kamu satu-satunya yang kupercaya nggak akan pernah pergi ninggalin aku, Na."
Aku menangkupkan kedua telapak tanganku pada pipi Bima, "Aku memang nggak akan pergi. Aku nggak akan ninggali Bima. Aku nggak akan selingkuh. Aku juga nggak akan biarin Bima sedih atau sendirian."
Bima tersenyum kecil, "Aku tau." Ia menggenggam kedua tanganku, "Tapi setelah semua yang kulakukan, kenapa kamu tetap memaafkanku segampang itu? Padahal kamu tau, aku orang paling egois."
"Nggak juga. Awalnya aku marah kok." Jawabku berusaha tampak cemberut, "Tapi akhirnya aku tau alasannya Bima pergi. Makanya aku mulai mengerti."
"Kamu tau?" Bima mengerutkan kening. Matanya berkilat kaget bercampur bingung.
"Aku tau tentang ibumu. Tentang ayahmu. Tentang Bima takut di tinggalkan, sendirian."
Ekspresi Bima berubah pedih, "Seberapa banyak kamu tau?"
"Aku nggak tau banyak karena Bima nggak banyak cerita. Aku ketinggalan cerita tentang Bima selama sebelas tahun. Makanya Bima mulai sekarang harus lebih banyak cerita."
"Cerita tentang apa?"
"Tentang Bima. Apa yang paling bikin Bima takut. Apa yang Bima suka. Apa yang Bima nggak suka."
"Aku nggak takut apa-apa." Bima mendengus, "Asal kamu aman disini."
"Yang Bima nggak suka?"
"Kesalahanku paling besar. Meninggalkan kamu selama sebelas tahun. Kukira aku bisa lupa semuanya. Bisa untuk tidak bergantung pada siapapun. Ternyata aku salah. Aku nggak bisa. Ternyata aku nggak pernah bisa dan nggak akan pernah bisa. Aku nggak akan ngelakuin kesalahan yang sama dua kali, Na"
Aku tertegun kehabisan kata-kata,"Kenapa?"
"Karena kamu orang yang paling kusuka di dunia." Bima menunduk sambil menertawakan dirinya, "Lucunya, justru ayahku yang sadar itu sejak lama bahkan sebelum aku sadar."
"Iya. Walaupun hanya diam, beliau selalu memperhatikan Bima." Aku mengangguk setuju.
Bima tersenyum separo sambil mengangkat kertas yang barusan ia baca, "Makanya beliau mengancam kalau aku nggak segera melamarmu, kamu bakal beliau pecat."
"Aku di pecat?" Sahutku tak percaya.
"Ayahku tau aku nggak mungkin mecat kamu." Bima menggelengkan kepalanya sambil tersenyum separo," Beliau juga tau aku diam-diam mau melamarmu. Yang beliau lakukan cuma untuk mempercepat semuanya. Ayahku mungkin sudah nggak sabar melihatku selalu sendirian."
"Persis kayak orang tuaku." Aku bergumam gelisah.
Bima memperhatikanku berubah gelisah," Ada apa?" Tanyanya mendadak waspada.
"Ng, aku sedang mikir gimana caranya ngasih tau ini semua ke Sarah." Gumamku gugup dan langsung di sambut tawa oleh Bima.
![](https://img.wattpad.com/cover/99490079-288-k684045.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
JugendliteraturSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...