"Icha! Barusan aku liat Bima ngerokok dalam mobil di halaman parkir!" Teriak anak perempuan yang baru saja berlari tergopoh-gopoh melintasi pinggir lapangan basket menuju ke anak perempuan yang duduk di depanku.Perhatianku sontak teralih. Anak perempuan berambut pendek itu menyebut nama Bima, mobil dan rokok. Bener kan, ketakutanku akhirnya jadi kenyataan. Akhirnya ada orang lain yang tau Bima merokok.
Di saat yang sama aku mendengar suara Sarah berteriak marah ke entah kesiapa,"Kamu napa sih? Nggak punya mata apa? Ring basket di sana! Kenapa bola basketmu kelempar kesini melulu?"
"HAH? Serius?!" Seru anak perempuan berambut ikal yang sepertinya bernama Icha. Mereka berdua saling bertukar pandang serius.
"Sumpah. Aku ilfil Cha! Aku nggak nyangka. Kukira Bima baik, alim bla bla bla." Anak perempuan yang berambut pendek mulai menjelek-jelekkan Bima.
Soal Bima membawa mobil ke sekolah itu aku sudah tau, yang aku nggak tau itu kalau Bima juga merokok di mobil saat jam istirahat.
"Bima bukan orang jahat." Selaku saat anak perempuan berambut pendek didepanku mengambil nafas untuk melanjutkan kalimatnya.
Mereka berdua kompak menoleh. Disaat yang sama ada seseorang bergerak mengambil bola basket di dekat kakiku.
Anak yang berambut pendek menatapku kaget sementara anak yang bernama Icha langsung menatapku sinis.
"Iyalah kamu nganggep Bima baik. Kamu kan pacarnya." Seru Icha.
Melihatku langsung menggelengkan kepala, alis Icha dan si rambut pendek langsung terangkat, begitu juga alis anak laki-laki yang baru saja mengambil bola basket di dekat kakiku.
"Mungkin kamu salah lihat. Bima kan nggak mungkin ngerokok." Sarah nyeletuk marah.
"Ngg. ya mungkin aku memang salah liat." Gumam anak perempuan yang berambut pendek tiba-tiba canggung.
Aku menatapnya penasaran. Kenapa anak yang di depanku tiba-tiba canggung? Padahal tadi dia super yakin kalau Bima memang merokok. Bukan berarti aku mau Sarah bertengkar dengan mereka untuk membela Bima (yang sebetulnya memang salah).
"Menurutmu orang yang jahat kaya' gimana?" Tiba-tiba seseorang bertanya.
Aku menoleh kaget. Suara itu berasal dari anak laki-laki yang juga sama sekali nggak pernah kukenal.
"Menurutmu gimana?" Ulang anak laki-laki di depanku sekali lagi.
"Nggak ada orang yang bener-bener jahat."
"Cewek aneh." Anak laki-laki itu menyeringai.
Aku termenung sesaat kemudian menoleh lagi kearahnya, "Kamu siapa?"
Sarah tersedak seperti nahan ketawa sementara dua orang didepanku menatapku terbengong-bengong. Apa yang aneh? Sekilas aku melihat bet nama anak laki-laki di depanku.
Gibran.
Awalnya, bibir Gibran bergerak tanpa suara seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Tapi, aku nggak peduli. Pikiranku melayang ke Bima.
......
"Kamu bener-bener nggak tau siapa yang tadi ngajak kamu ngobrol Na?" Tanya Sarah.
"Nggak." Aku menggeleng.
"Itu anak cowok yang sering di omongin mirip Bima."
"Oh." Aku mempercepat langkah.
"Kenapa sih kamu malah lari-lari waktu di ajak ngobrol?" Sungut Sarah kesal.
"Aku mau ketemu Bima." Jawabku singkat lalu berlari meninggalkan Sarah yang berteriak-teriak kesal memanggil namaku di koridor.
Aku melirik jam, tinggal 5 menit lagi sebelum bel jam istirahat berakhir. Tadinya aku maunya nunggu sampai jam pulang sekolah tapi aku kok malah tambah khawatir.
Aku menemukan Bima di tempat yang sama seperti anak perempuan berambut pendek itu terakhir melihat Bima.
"Bima!" Panggilku. Bima menatapku agak kaget, ia baru menutup pintu mobil. Begitu jarak kami cukup dekat aku langsung menarik kemeja Bima. Mata Bima terbelalak. Aku bisa mencium aroma tembakau dari bajunya. Aku menarik ujung kemeja Bima. Membawanya keluar dari halaman parkir sebelum mulai menceritakan kejadian yang barusan. Aku mencoba kelihatan galak tapi gagal karena Bima kayaknya nggak takut sama sekali.
"Bima, aku serius. Berhenti bawa mobil ke sekolah. Berhenti merokok. Sebelum lebih banyak yang tau."
"Kenapa memangnya?"
"Peraturan sekolah kita kan ketat. Kamu bisa di skors 2 minggu."
"Nggak akan sampai dikeluarkan."
"Tapi merokok nggak sehat. Bima bisa sakit."
Bima menatapku tajam cukup lama sampai perhatiannya teralih ke ujung kemejanya yang kutarik. "Lepas." Perintahnya.
"Maaf." Aku buru-buru melepas pegangan tanganku,"Kemejamu jadi berantakan ya?"
"Kenapa kamu sebegitunya peduli?" Potong Bima
"Aku khawatir Bima. Berhenti ngelanggar peraturan ya? "
"Untuk mobil? Nggak. Untuk merokok? Ya."
"Betulan?" Mataku terbelalak. Bima mau menuruti satu permintaanku saja sudah bagus.
"Ya."
Aku tersenyum lebar. Senyumku berhenti begitu aku sadar sekarang aku dalam pelukan Bima.
"B..Bima?" Aku mencoba mendongak menatap wajahnya.
"Jangan lihat." Perintahnya galak. Sementara satu tangannya membuatku tidak bisa mendongak namun sekilas aku sempat melihat kuping Bima berwarna merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Ficção AdolescenteSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...