Januari 2019-4

2.6K 416 4
                                    

Bima menutup teleponnya. Ia baru saja selesai mengobrol dengan salah satu mantan kliennya. Dulu Bima berhasil memenangkan banding mantan kliennya ini. Sebagai ganti rasa terimakasih, kliennya sering menawarkan Bima bantuan terutama soal jaringan komputer. Seperti hari ini, ia setuju untuk membantu salah satu staff Bima untuk mengupgrade server kantor. Padahal belum lama ini, ia juga membantu Bima mencari nomor handphone Nana. Lewat nomor telepon, kliennya bisa mendeteksi lokasi koneksi terakhir. Dari sanalah, Bima menemukan titik Nana berada.

Sekarang Bima tidak perluh sesulit itu menemukan Nana. Ia bisa melihat Nana kapanpun ia mau. Bima menatap layar handphonenya. Nana dan ayahnya sedang duduk makan siang bersama. Keputusan Bima tidak salah karena Nana tidak berubah. Karena dari awal Bima tau, sifat tenang Nana pasti membuatnya langsung akrab dengan ayahnya.

Sebelum Nana datang, Bima juga sudah menjelaskan pada ayahnya soal 'pengasuh' beliau yang baru. Sewaktu Bima menyebut nama 'Nana' ayahnya malah tertawa. Beliau tanya apa 'Nana' yang Bima maksud adalah 'Nana' yang sama dengan anak yang dulu sering di bicarakan pak Nugroho-pengurus rumah Bima yang lama.

Bima mendengus,"Pak Nugroho suka membicarakan Nana?"

"Iya." Ayah Bima tertawa lagi. Beliau seperti menyimpan humor yang tidak Bima mengerti.

...........


"Bima." Panggilku begitu Bima keluar dari dalam mobilnya.

Bima menoleh. Ia agak kaget melihatku duduk menunggu di tangga teras samping, tidak di ruang keluarga seperti yang biasanya kulakukan. Untuk sesaat Bima memeriksa ekspresiku dengan curiga. Perlahan ia berjalan mendekatiku kemudian meletakan telapak tangannya di keningku. Bima mengecek suhu keningku berkali-kali. Aku tidak demam dan Bima tidak percaya. Karena tidak puas, Bima menarik tanganku. Ia mengecek apa lenganku terluka. Ia juga membolak-balik telapak tanganku yang sekarang memang agak sakit karena terkena serat bambu.

"Jangan lupa pakai sarung tangan." Ujarnya singkat.

Bima menatapku makin curiga begitu aku langsung menjawab 'ya' dan mengangguk patuh,"Kamu kenapa?" Bima terdiam sebentar,"Bapak dimana?"

"Beliau di kamar. Mungkin tidur."

"Terus siapa yang hari ini jatuh? Kamu atau bapak?"

"Bapak nggak jatuh. Aku juga enggak."

Alis Bima berkerut makin dalam kayaknya ia terkejut melihat perubahan ekspresiku.

"Kamu senyum." Ujarnya tertegun.

"Iya."

"Baru sekarang kamu senyum. Dari kemarin kamu nggak pernah senyum."

"Aku senyum ke bapak dan bu Yani kok." Jawabku.

"Tapi kamu nggak senyum didepanku."

"Oh." Aku mengangguk. Iyalah mana bisa sebelum ini aku senyam-senyum ke orang yang pergi begitu saja tanpa kabar selama bertahun-tahun sebelum akhirnya aku tau penyebabnya.

Mata Bima menyipit, "Padahal dulu kamu selalu senyam-senyum sendiri."

Aku meringis, "Aku nggak pernah senyam-senyum sendiri kok." Bantahku.

"Bentuk bibirmu seperti orang senyum." Gerutu Bima, "Kalau kamu maksain cemberut, wajahmu jadi kelihatan jelek."

"Jadi dari kemarin aku kelihatan cemberut sama Bima ya?"

"Nggak juga, tapi kamu nggak mau bicara apa-apa selama berhari-hari."

"Bukannya Bima juga nggak bicara?"

"Iya." Mata Bima berkilat galak, "Karena aku nunggu sampai kamu marah." Gertak Bima.

Aku melongo. Bima menungguku marah-marah baru dia mau bicara? Logika macam apa itu? Apa Bima menungguku muntab, banting barang, menjambak rambutnya sampai dia puas. Mungkin baginya dengan aku marah rasa bersalah Bima bisa berkurang. Mungkin. Aku sendiri sebetulnya tidak tau pasti alasan Bima berpikir seperti itu. Tapi kan harusnya Bima tau aku tidak bisa marah model seperti itu, daridulu.

"Kalau gitu boleh aku marah-marah sekarang?" Tanyaku gugup.

"Kenapa mau marah-marah ijin dulu?" Bima menghela nafas dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat lagi Bima tertawa.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang