Ini malam kedua aku tidur berhimpitan dalam barak di atas gunung dan pertama kalinya aku main UNO dengan anggota kelompok outboundku dalam acara lanjutan MOS SMU.
"Kakikuu pegel banget." Keluh anak berambut pendek yang duduk di depanku. Ya, dia anak perempuan yang sama yang memergoki Bima merokok waktu itu. Ternyata namanya Malika. Ia satu kelompok outbound denganku, kelompok 12. Bersama dengan 5 anak perempuan lain dan 3 anak laki-laki.
"Kakiku juga sakit banget Mal." Keluh Aisha anak yang rambutnya di kucir cepol yang duduk tepat di sebelahku.
Sebetulnya kakiku juga sakit, soalnya tadi semua anak di wajibkan naik turun gunung melalui beberapa pos permainan, tapi aku diam saja. Aku nggak terbiasa mengeluh di depan orang yang nggak betul-betul kukenal.
Disela-sela keseriusanku main UNO, satu teman kelompokku menyarankan untuk memberlakukan hukuman dare.
Diantara semua anak cuma aku yang menolak, sisanya justru semangat setengah mati. Bukan apa-apa aku nolak. Soalnya aku betul-betul nggak bisa main UNO. Aku curiga kalau pada akhirnya, aku juga yang akan kalah.
Betul saja. Aku kalah.
Begitu aku kalah, semua anak cewek kelompokku langsung saling deketin kepala bisik-bisik. Setelah satu menit, mereka kompak nolehin kepala dan memandangiku sambil nyengir.
Tanpa curiga aku balas nyengir. Baru waktu mereka menyampaikan hukumannya, cengiranku hilang dan wajahku berubah jadi ijo. Aku minta hukuman yang lain tapi mereka tolak mentah-mentah.
"Nembak Gibran?" Ulangku tidak percaya.
Aku tau Gibran. Anak laki-laki yang dulu bilang aku anak aneh dan yang sekarang juga satu kelompok outbound denganku. Dunia aneh kan? Aku malah di kumpulkan dengan orang-orang yang sepertinya tau Bima ngerokok.
Butuh 15 menit mereka maksa, merayu-rayu, setengah ngancem aku untuk nerima hukumannya. Singkatnya, aku digeret ke depan pintu barak anak laki-laki.
Dengan bantuan anak cowok berkaos hijau yang lagi duduk di depan barak, teman sekelompokku memanggil Gibran keluar. Aku menciut sementara mereka cekikikan di belakangku sambil ngeliatin Gibran berjalan ke depan kami dengan muka curiga.
Sekarang Gibran berdiri menjulang di depanku. Aku belum pernah ngobrol betulan dengan Gibran. Tapi kuakui wajahnya yang memang mirip Bima. Detik berikutnya, Aku buru-buru pura-pura menyatakan perasaan.
"Iya, aku juga." Jawab Gibran sedetik setelah bibirku terkatup.
Sunyi senyap. Aku menelan ludah bingung harus bertindak apa. Aku reflek menoleh ke teman-teman kelompokku. Mereka semua juga terdiam.
Gimana nih? Kukira mereka bakalan meledek atau mengklarifikasi kalau aku nembaknya hanya bohongan. Kukira mereka bakal ngelakuin sesuatu supaya Gibran tau kalau ini semua cuma main-main.
Aku sudah nyaris mengklarifikasi sendiri sewaktu ada anak berambut jabrik tau-tau berteriak di depan barak anak laki-laki mengumumkan kalau aku dan Gibran jadian.
Gara-gara teriakan anak laki-laki berambut jabrik itu bagian depan barak langsung tumpah manusia. Mereka yang daritadi mengintip penasaran sekarang berlarian keluar untuk menonton.
Tanpa sengaja mataku jatuh ke Bima yang berdiri di dekat pintu. Bima berdiri kaku dengan tangan terkepal kuat. Terakhir kali aku melihat Bima semarah ini adalah waktu pertama kali Bima bertemu denganku saat kami masih sekolah dasar.
Disaat yang sama Gibran yang berdiri di depanku tertawa. Tawa Gibran mengalihkan perhatianku sesaat. Gibran menundukan kepalanya. Rambut ikalnya jatuh ke kening dengan sempurna. Begitu mata kami bertatapan, tawa Gibran berubah jadi senyum bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...