Maret
Bima meletakan spidol ke meja Nana tanda kalau ia menujuk Nana untuk mengerjakan soal olimpiade selanjutnya di papan tulis.
Nana maju kedepan dengan ekspresi tanpa beban. Dengan mudahnya Nana menyelesaikan soal Fisika di papan tulis.
Bima tau nilai Nana fluktuatif tapi ia tidak bego. Nana cukup pintar untuk masuk ke kelas olimpiade.
Ekspresi Nana baru berubah stress kalau ia menghadapi soal bahasa Indonesia. Lucunya, Nana kurang bisa mencerna pelajaran bahasa. Bahasa Indonesianya sering belepotan. Kemungkinan besar karena Nana jarang bicara makanya ia sulit menyusun kata-kata. Bima sendiri juga tidak banyak bicara tapi tidak separah Nana. Bima tidak punya masalah dengan berdiri di depan umum. Ia hampir tidak pernah canggung, gagap atau takut menatap mata orang secara langsung. Makanya, Nana jadi kelemahan terbesarnya. Karena cuma Nana yang bisa membuat Bima seperti demam panggung.
Di kelas olimpiade, Bima duduk di meja depan Nana. Makanya Bima bisa mendengar isi obrolan Nana dengan teman sebangkunya. Sekali Bima pernah mendengar Nana mencoba menjelaskan bagaimana menyelesaikan salah satu soal ke temannya.
Jawabnya temannya: " Kamu ngomong apa sih Na? Aku nggak nangkep!"
Nana bergumam lugu, "Eh? Masa'?" Lalu mencoba menjelaskan lagi tapi kembali gagal total.
Bima tidak tahan mendengar pola kalimat Nana yang amburadul. Apalagi ia juga tau kalau nilai tes pidato Nana jelek. Makanya Bima meminta Nana latihan pidato untuk memperbaiki nilai sekaligus pola bahasa sehari-harinya.
Jelas, Nana menolak. Test pidato itu musuhnya dari SD. Waktu SD, Nana hanya bisa mengeluarkan suara pidato satu tingkat di atas bisikan. Tidak ada yang bisa mendengar isi pidato Nana kecuali guru bahasa Indonesia kami yang berdiri di samping Nana dan tidak ada yang mau memperhatikan kecuali Bima.
Bima berhasil menyuruh Nana latihan pidato. Dengan satu syarat asalkan Nana tidak memandanginya cukup lama.
Pada dasarnya Nana cepat belajar. Kemampuannya lumayan meningkat setelah berkali-kali latihan. Lalu untuk hal yang jarang sekali terjadi, Nana tidak remidi tes pidato.
Harusnya cukup sampai disini. Nana bisa mulai latihan sendiri karena pada dasarnya Nana mampu. Tapi Bima yang tidak bisa berhenti.
Semenjak masuk kelas olimpiade, berkali-kali Bima mendengar Nana bicara walaupun cuma sekedar pidato. Cukup banyak sampai Bima ingat masa-masa mereka masih sekolah dasar.
Sudah lama ia tidak mendengar Nana bicara sebanyak ini.
Rasanya aneh kalau Bima berhenti mendengar suara Nana lagi untuk waktu cukup lama.
Bima kembali memaksa Nana latihan pidato. Nana tampak kebingungan. Ia tidak tau kenapa harus banyak-banyak latihan pidato. Nana sendiri tampaknya sudah muak berpidato. Tapi Nana harus tetap bicara. HARUS punya alasan untuk TETAP bicara.
Tanpa di duga Bima, bukannya berpidato formal Nana malah membicarakan soal avatar aang. Nana menceritakan soal avatar aang dengan pola kalimat lebih tidak karu-karuan daripada sewaktu ia pidato soal penangkaran kambing.
Kali ini Bima akui, kemampuan bahasa Nana memang BETULAN jelek. Sayangnya Bima tidak bisa berhenti mendengarkan. Tidak apa-apa. Toh memang hanya Bima yang betul-betul mau mendengar.
April
Tanpa sengaja Bima menjatuhkan album foto dari rak bukunya. Itu album foto sebelum Bima pindah sekolah dasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...