Nafas Gibran berhenti saat melihat Anna. Ia sudah pernah bertemu dengan puluhan cewek cantik sebelumnya, tapi ia belum pernah bertemu wajah yang seperti Anna. Wajah yang tidak bisa ia diskripsikan. Wajah yang membuatnya terpaku.
Gibran tidak memungkiri ketertarikan pertamanya pada Anna karena fisiknya dan mungkin itu juga alasan hampir sebagian besar orang lain.
Wajar. Anna menarik.
Mencari perhatian Anna jauh lebih menarik lagi. Seperti game. Semua orang berlomba-lomba memainkan game yang rasanya mustahil dimenangkan.
Ini salah satu game yang paling suka di mainkan Gibran dengan teman-temannya. Memanggil, meneriakkan nama Anna setiap kali ia melintas. Tidak peduli berapa jauh jarak antara mereka.
Biasanya Anna tetap melintas tidak peduli namanya di panggil. Lain waktu Anna menoleh bukan ekspresi angkuh atau menggoda, tapi ekspresi lucu. Seperti orang bingung.
Kebingungan. Tidak sadar kalau dia cantik.
Game semakin menarik. Reaksi Anna semakin di tunggu. Kadang jadi bahan taruhan. Satu lirikan berarti banyak. Nilainya mahal karena Anna nyaris tidak pernah merespon godaan yang datang.
Taruhan kecil lama-kelamaan berubah jadi konyol. Segala cara di coba. Siapa yang berani menendang bola paling dekat ke arah Anna. Siapa yang bisa membuat Anna menatapnya. Siapa yang bisa membuat Anna tersenyum, Siapa yang paling nekat mencegat Anna lalu berdiri di depannya lebih dari semenit...
Gibran salah satu pemain dari permainan. Ketawa terbahak-bahak melihat peserta lain gagal, ikut menyusun taruhan, menyiapkan strategi, mencoba melaksanakan misi lalu menertawakan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...