Desember
"Kamu kenapa?" Suara Bima memecah kesunyian panjang di mobilnya. Walaupun tampak tidak peduli, Bima diam-diam memperhatikan gerakan gelisah Nana yang duduk di sampingnya.
"Hm?" Nana mendongak kaget. Teralih dari pikirannya sendiri.
"Kenapa kamu gelisah?" Ujar Bima sementara pandangan matanya tetap tertuju lurus ke jalan.
Nana menggeleng kikuk.
"Ada apa sebetulnya?" Mendadak perasaan Bima menjadi was-was.
"Nggak ada apa-apa."
"Kenapa?" Gertak Bima curiga. "Apa ada hubungannya sama tadi siang? Gara-gara minyak di kantin? Apa tanganmu luka? Kamu nyembunyiin tanganmu yang luka?"
Bima tau soal kejadian tadi siang. Tentang Gibran yang nolong Nana dari cipratan minyak penggorengan yang meledak di kantin saat jam istirahat kedua nyaris berakhir. Begitu Bima mendengar berita itu di bicarakan, Bima langsung datang mengecek lengan Nana menyeluruh. Memastikan Nana tidak apa-apa. Seingatnya, Bima yakin Nana tidak terluka.
Tapi tingkah Nana sekarang terlalu mencurigakan. Detik itu juga, Bima langsung menepikan kasar mobilnya ke pinggir jalan untuk mengecek ulang lengan Nana.
"Aku nggak apa-apa. Betulan Bima.."
"Sebetulnya ada apa?" Tanya Bima mengancam lebih halus," Apa aku harus nyari tau sendiri?"
Nana menelan ludah seketika panik,"Tadi siang, Gibran ngasih aku hadiah jam tangan. Aku nggak bisa nerima. Makanya aku datang ke kelasnya, kelas 10-4. Ngembaliin hadiahnya. Waktu aku mau balik ke kelas lagi. Gibran bilang seenggaknya kalau aku nggak mau nerima hadiahnya, aku harus mau temenin dia ke kantin... Tau-tau waktu aku ngantri beli minum ada yang nggak sengaja numpahin minumannya ke wajan penggorengan besar punya ibu kantin. "
"LALU?" Tanya Bima dingin.
"Gibran ngelindungi aku. Tangannya luka. Aku panik. Lalu di UKS Gibran tiba-tiba nembak aku lagi..."
Lagi? Berarti bukan cuma sekali. Mengjengkelkannya Bima baru tau sekarang. Nana tidak pernah bilang apa-apa selama ini. Bima pikir kejadian di atas gunung tidak akan berlanjut apa-apa. Bima pikir Gibran akan seperti anak lainnya. Tidak betul-betul bernyali mendekati Nana.
"Dia bilang aku harus ngasih dia satu kesempatan."
Darah Bima menggelegak. Bima menggeram menakutkan. Buku-buku jarinya mengepal hingga memutih.
"MAKSUDMU APA?" Teriak Bima jengkel. Ia menggenggam stir mobil seperti hendak meremukan benda itu.
"Jangan marah Bima." Nana bergerak panik.
"HUBUNGANMU SAMA GIBRAN SEKARANG APA?"
"Tolong jangan marah."
"JAWAB!"
Nana terdiam. Sudah cukup. Bima langsung tau artinya. Bima terduduk lemas. Ia tidak tau harus bagaimana.
"Dia cuma minta kesempatan satu bulan." Ujar Nana nadanya putus asa," Waktu itu aku betul-betul ngerasa bersalah. Aku panik Bima...."
Cuma satu bulan? Cuma?
"BATALIN SEKARANG JUGA." Perintah Bima,"ATAU AKU YANG MAJU." Ancam nya.
" Jangan!" Tolak Nana buru-buru.
"KALAU GITU KASIH TAU DIA SEKARANG! BATALIN SEMUANYA."
"Tapi..." Nana mendadak berhenti," Bukannya Bima bilang kita nggak akan pernah pacaran?"
"Apa status segitu pentingnya?" Bentak Bima sinis.
"Aku nggak tau." Nana menggeleng sedih." Tapi kenapa status hubunganku sama Gibran penting buat Bima? Bukannya aku bukan punya Bima?"
Bima tersentak mendengar jawaban Nana.
"Kamu segitu pinginnya kita pacaran?" Bima bergumam sinis ketika mendekatkan wajahnya ke wajah Nana hingga bibir mereka bertemu.
Bima bisa merasakan nafas Nana di wajahnya. Bibir Nana yang bergerak seperti ingin bicara. Gerakan tangannya memukul mendorong pundak Bima menjauh tapi Bima bergeming.
Begitu Bima menjauhkan wajahnya Nana sudah memasang ekspresi siap perang.
"KAMU NYEBELIN BIMA! TUKANG MAKSA. GALAK! KETUS! KENAPA KAMU SELALU MARAH? KENAPA KAMU TAU-TAU NGELAKUIN INI?!" Teriak Nana jengkel.
Bima terkesima. Nyaris saja ia ketawa di situasi paling tidak tepat. Akhirnya untuk pertama kali seumur hidup Bima melihat Nana marah. Bima betul-betul puas seakan-akan seumur hidupnya Bima hanya menunggu saat ini datang.
"KENAPA JUGA SIH BIMA AKHIR-AKHIR INI? KENAPA SELALU NYIUM ORANG SEMBARANGAN?!" Teriakkan Nana berubah jadi sumbang dibagian menyebut kata cium.
Selesai bicata, Nana bergerak-gerak lucu sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wajah Nana merah semerah-merahnya. Dia teriak sendiri kemudian salah tingkah sendiri. Bima sampai lupa kalau baru saja semenit yang lalu dia marah besar. Pemandangan di depannya terlalu lucu. Membuatnya gemas sendiri.
"Pokoknya batalin kesempatan yang kamu kasih ke Gibran." Tegas Bima sambil menarik wajah Nana mendekat kemudian menciumnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Fiksi RemajaSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...