"Maaf Sarah, aku nggak bisa nerima tawaran pekerjaanmu."
"Kenapa?" Tanya Sarah curiga dari balik telepon.
"Aku eeh, sudah dapat pekerjaan lain."
"Pekerjaan apa?"
Aku meringis, "Pengasuh."
Sunyi selama tiga detik sampai Sarah berseru,"Hah? Kamu jadi babysitter? Atau pembantu?"
"Eh maksudku jadi personal assistant!" Aku menyela buru-buru.
"Sama aja kali'!!!!"
Aku berkata gugup,"Ya, bisa di bilang begitu sih."
"Apa?!" Seru Sarah," Serius Na? Ngapain kamu kuliah cuma buat jadi nanny? Oh Nanny apa nih? Baby? Anak SD?"
"Orang tua Sar."
"APA!?" Teriak Sarah. Aku bisa membayangkan Sarah melongo di ujung telepon,"Itu orangtuanya siapa? Kenalanmu?"
Tanpa pikir panjang aku menjawab, "Ayahnya Bima."
"HAH? BIMA YANG ILANG ITU? YANG TAU-TAU NYARIIN KAMU LEWAT AKU SETELAH SEBELAS TAHUN ITU?"
"Eh, apa? Siapa yang nyari siapa?" Tanyaku bingung karena Sarah tiba-tiba njerit-njerit nggak karuan dibalik telepon dengan suara keras.
"Bimalah! Bima yang nyariin kamu!"
"Kapan? Kok kamu bisa tau?"
"Iya taulah! Bima tau-tau ngehubungi teleponku minta alamat sama nomormu! Tapi nggak kukasih. Gila apa?!"
Aku melongo,"Kenapa nggak?"
"Bego! Dia cowok yang ninggal kamu SEBELAS TAHUN tanpa kabar Na!"
"Bima pasti punya alasannya." Jawabku dan mau nggak mau mulai menceritakan soal keluarga Bima.
Aku mendengar Sarah menghela nafas di ujung telepon, "Terus apa jaminannya Bima nggak akan tiba-tiba pergi tanpa kabar lagi kayak dulu? Bukannya dulu kamu pernah bilang, Bima nggak mau pacaran, nikah atau apalah yang mengandung status-status gitu? Ih, selamanya kamu mau cuma jadi Nanny-nya gitu? Jangan-jangan dia nyariin kamu cuma gara-gara rasa bersalah udah buat kamu di pecat?"
Aku menggigit bibir, "Bima nggak kayak gitu. Aku percaya Bima."
"Bagian mana yang dia bisa di percaya?" Ejek Sarah.
Selesai menelpon Sarah aku terduduk diam di dekat ruang karya pak Ilyasa. Pak Ilyasa tertatih-tatih menghampiriku. Aku baru sadar ketika beliau sudah duduk di sampingku. Sebetulnya aku agak malu di dekat beliau hari ini, karena tadi pagi, beliau melihat Bima memelukku sebelum berangkat kerja.
"Bapak tau hari ini bakal datang juga." Beliau tersenyum.
"Maksud bapak?" Tanyaku bingung.
Pak Ilyasa bangun dari duduk sambil memintaku membantu beliau berjalan ke ruang karya. Beliau membawaku ke depan rak buku yang berjejer di sisi barat ruangan. Perlahan beliau menarik sebuah buku. Itu buku alumni sekolah dasarku. Aku melihat Beliau membolak-balik buku sampai kehalaman yang terselip satu lembar foto tua. Itu foto entah di ambil siapa dan kapan, di foto itu aku sedang tersenyum menatap kamera sementara Bima dengan seragam SD kami, duduk di sebelahku, menatapku.
"Coba kamu baca bagian belakangnya." Ujar pak Ilyasa sambil tertawa.
Aku membalik foto. Di belakangnya ada tulisan. Aku familiar dengan tulisan Bima waktu ia kecil. Bima menulis catatan panjang yang tidak ia sukai tentangku, ia nggak suka suaraku, wajahku, tingkahku. Ia juga nggak suka duduk di samping perempuan apalagi yang namanya sama dengan nama ibunya. Di akhir Bima menambahkan tulisan; Jangan sampai ada orang lain ada yang tau Nana aneh. Nanti mereka semua suka Nana. Cuma aku yang boleh tau.
Senyum Pak Ilyasa semakin lebar, "Bapak memang sudah mulai pikun, tapi bapak nggak akan lupa siapa orang yang paling anak bapak sukai dari dia masih kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...