Juni
Pagi ini Nana lagi-lagi lupa menutup resleting tasnya. Ini salah satu alasan kenapa Bima makin tidak bisa membiarkan Nana naik bus sendirian. Apalagi bus jurusan SMU 1 terkenal selalu sesak penumpang dibanding jurusan bus menuju ke SMP mereka dulu.
Belum lima menit setelah Bima menutup resleting tas Nana, Bima melihat laki-laki paruh baya yang di berdiri dua langkah di sampingnya, menatap Nana dengan ekspresi tidak sopan. Dengan cepat Bima menarik bagian belakang tas Nana supaya Nana memposisikan diri berdiri di sisi Bima yang lain. Nana yang tersentak kaget karena tasnya di tarik tiba-tiba, kehilangan keseimbangan sampai kepalanya beradu dengan palang besi di dekatnya.
PADAHAL INI BARU HARI PERTAMA MASUK SMU, Gerutu Bima dalam hati sementara Nana sibuk mengusap-usap kepalanya sambil meringis.
Seakan belum cukup, sewaktu sampai di sekolah, baru saja Nana satu langkah memasuki gerbang, satpam sekolah yang berdiri di dekat pos melongo menatap Nana. Untungnya Nana tidak sadar ditatapi melongo oleh satpam.
Terlalu cantik, Bima mendengus teringat deretan anak laki-laki di sekolah mereka yang dulu yang mengantri mencari perhatian Nana. Pasti tidak ada bedanya di SMU. Mungkin malah lebih parah.
Untungnya Bima tau cara yang paling efektif membuat anak laki-laki lain tidak terang-terangan mencari perhatian Nana. Bima cukup berjalan di samping Nana. Menegaskan lewat tatapan mata seakan-akan Nana miliknya. Membuat semua orang salah paham termasuk siswa perempuan. Terutama yang suka cari perhatian Bima. Bima tidak pernah menghitung jumlah anak perempuan yang mencari perhatiannya. Yang jelas Bima tidak suka kalau ada anak perempuan, apalagi yang tidak Bima kenal, menyatakan perasaan padanya. Kenapa mereka bisa suka padahal tidak tau apa-apa tentangnya? Suka apanya? Wajahnya? Sifatnya? Kejelekaannya? Mereka tidak tau apa-apa.
Getaran handphone di sakunya mengalihkan pikiran Bima. Tanpa mengecek Bima sudah tau siapa yang menelponnya pagi-pagi. Pasti ibunya.
Bima mendengus dan untuk sekian kalinya Bima tidak akan mengangkat. Bima tidak habis pikir kenapa ibunya masih mau menelpon Bima setelah ratusan panggilan yang tidak pernah ia angkat.
Frekuensi panggilan dari ibunya semakin sering beberapa bulan belakangan ini. Bima tau waktu ibunya mungkin tidak banyak padahal Bima masih butuh banyak waktu untuk bisa memaafkan.
Juli
Tanpa sengaja Bima tertawa. Tawa yang tidak pada waktunya. Tidak ada alasan untuk tertawa di jam pelajaran Matematika. Bima mencoba menguasai dirinya lagi. Tapi pemandangan di luar jendela kelasnya betul-betul menghibur. Untungnya arsitektur bangunan jendela kelasnya berukuran besar dan lebar. Bima bisa dengan mudah mencuri pandang keluar kelas tanpa menarik perhatian.
Nana melintas lagi di lapangan tepat di samping jendela. Nana lari kesana kemari mengejar bola volleynya yang menggelundung setiap ia mencoba memukulnya keatas berulang-ulang. Kepayahan sendiri karena larinya lambat.
Bukan karena Nana payah dalam olahraga makanya Bima tertawa, kalau soal itu Bima sudah tau itu dari lama, tapi karena suara pak Ridwan guru olahraga membahana hingga ke balik jendela kelas mengomentari baju olahraga Nana yang lebih mirip jemuran sprei berkibar setiap Nana mencoba lari.
"Apa larimu jadi lambat gara-gara bajumu?" Seru pak Ridwan.
Bima nyaris tertawa lagi. Untungnya Bima bisa menyamarkan tawanya ke bentuk cengiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (Completed)
Teen FictionSejak pertama kali bertemu dengan Anna, Bima sudah bertekad membencinya. Anak perempuan mungil, polos, aneh, pendiam, berwajah seperti boneka yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Tapi bagaimana bila takdir selalu mempertemukan mereka selama...