Day 7

2.2K 376 24
                                    

Bima langsung menggiring Nana masuk kedalam mobilnya begitu ia keluar dari dalam bus outbound kelasnya.

Bima butuh jawaban. Ia sudah menunggu semalaman suntuk untuk sampai ke saat ini. Ia betul-betul marah. Kesabarannya hanya bisa sampai disini.

"KENAPA kamu mau-maunya di suruh nembak GIBRAN?" Bentak Bima begitu mereka masuk ke dalam mobil.

Nana menelan ludah kemudian menceritakan semuanya soal hukuman permainan UNO. Bima mencengkram stir mobilnya keras-keras hingga uratnya bermunculan selama mendengar cerita Nana.

"Siapa orang yang nyaranin hukuman bego kayak gitu?" Seru Bima.

"Kalau kukasih tau nanti orangnya di apain Bima?" Ujar Nana sambil menggeleng kuat-kuat, "Lagian semua orang pasti tau kalau itu cuma bohongan."

Bima menggertakan gigi gemas. Tidak tau bagaimana cara menghadapi Nana. Masalahnya, bukan perkara salah paham atau tidak. Cuma orang tolol yang tidak tau kejadian tadi malam cuma bohongan. Bima cuma tidak bisa menjelaskan kalau ia SANGAT TIDAK SUKA melihat Nana melakukan hal itu.

Bima membisu sepanjang perjalanan menuju ke rumah Nana. Suasananya betul-betul tegang. Bahkan terbaca oleh Nana yang seringkali tidak bisa membaca suasana. Nana mengetuk-ngetukan jarinya lemah. Biasanya Nana tidak pernah takut atau marah setiap Bima marah, tapi kali ini bahu Nana terkulai dan ia gelisah.

"Bima." Panggil Nana ketika mobil jeep Bima berhenti di lampu merah di bawah guyuran hujan yang tiba-tiba muncul.

"Bima...?" Panggil Nana sekali lagi, kali ini sambil menarik-narik ujung hoodie Bima.

Bima tetap membisu tegang. Perlahan Nana mendekatkan wajah putus asanya ke Bima. Mencoba menarik perhatiannya.

Keputusannya salah.

Seketika jari Bima menarik kepala Nana mendekat. Mencium kening Nana sekuat tenaga. Bima betul-betul sayang pada Nana. Kecerobohannya, ketololannya, keanehannya. Semuanya.

Begitu Bima menjauhkan bibirnya, Bima bisa melihat mata Nana terbelalak. Ia melongo.

"Aku sayang kamu Na.." Ujar Bima masih di liputi kemarahan.

"Eh?" Nana mengerjapkan matanya tidak percaya. Membeku untuk waktu yang sangat lama sampai ia bergumam tersendat,"M..maaf. Aku nggak pernah tau."

Bima menatapnya jengkel. Biasanya-biasanya Nana masih menemukan alasan untuk minta maaf sekarang.

"Makasih Bima..." Nana menggigit bibirnya. Ia terdiam lama sebelum perlahan berbisik,"M...mungkin aku juga..."

"Mungkin?" Nyaris saja Bima menginjak rem mendadak di jalur cepat.

"A..aku nggak tau rasa sayang itu kaya' gimana." Bisik Nana panik, "Tapi aku nggak mau jauh-jauh dari Bima. Apa itu rasa sayang?"

Bima memelankan laju kendaraannya perlahan dan menepikan mobilnya kesamping,"Ya."

"Berarti aku juga sayang Bima." Gumam Nana lugu sambil menunduk menatap buku-buku jarinya mirip anak kecil.

Kalimat Nana mengirimkan gelombang perasaan yang lebih besar dari sebelumnya. Membangkitkan ingatan Bima pada anak kecil berambut coklat sebahu yang selalu nyanyi dan tertawa sendiri di sampingnya. Anak perempuan berpakaian putih biru yang selalu berdiri di samping Bima di dalam bus. Anak perempuan yang tumbuh bersamanya selama bertahun-tahun. Ketika sadar, Bima sudah menenggelamkan Nana pelukannya.

"Bau Bima mirip permen." Bisik Nana mematung dalam pelukan Bima.

"Aromamu yang mirip permen."
Rambut Nana memang beraroma permen. Manis seperti permen. Aroma yang sama seperti di ingat Bima selama ia duduk sebangku dengan Nana.

Mendadak Nana mendongak tapi buru-buru menunduk lagi salah tingkah setelah matanya bertatapan dengan Bima. Dengan panik Nana mencoba melepaskan diri, tapi lengan Bima memeluknya makin erat. Diam-diam Bima menggelengkan kepala, menahan diri untuk tidak tertawa geli. Betapa mudahnya kemarahannya menghilang dalam sekejab barusan. Perasaan Bima kini campur aduk. Di ujung yang berbeda. Betapa ajaibnya perasaannya pada Nana.

"Bima aku kehabisan nafas." Rengek Nana terus menggeliat dalam pelukannya.

Bima menunduk, memaksa wajah Nana untuk menatapnya.

"Mau kucium lagi?"

Nana tergagap," Eh? N...nggak maksudku bukan itu."

"Maumu apa?"

"Apa sekarang kita pacaran?" Tanya Nana.

Senyum Bima menghilang,"Pacar?"

Nana terdiam menunggu jawaban Bima.

"Nggak akan." Tegas Bima.

Mata Nana kini terbelalak makin lebar dari sebelumnya. Rona pipinya tau-tau menghilang. Ia terdiam dalam posisi waspada.

"Oh Kukira..." Bisiknya.

"Pacaran cuma untuk putus."

"Pacaran untuk menikah." Sahut Nana.

"Menikah untuk pisah."

"Ha? Tapi..."

Tiba-tiba Nana berhenti bicara. Ia mengalihkan pandangan kearah berlawanan dari Bima tanpa mengatakan apa-apa lagi.

November

Bima sadar betul dorongan untuk berada lebih dekat dengan Nana jauh lebih besar dari sebelumnya. Ia ingin bersama Nana kemanapun. Bima ingin melihat Nana tertawa, tapi sudah beberapa hari Nana tidak tertawa bahkan bersenandung saat melamunpun tidak.

Kebiasaan mereka tetap berlanjut. Bima tetap mengantar Nana berangkat dan pulang sekolah. Bedanya kebiasaan itu sekarang di lalui dengan kebisuan. Bukan kebisuan damai tapi hening tegang.

Walaupun tidak marah, Nana terang-terangan cemberut. Hal baru soal Nana karena Nana hampir tidak pernah cemberut. Ternyata ia masih punya sisi normal anak perempuan seusianya.

Tidak di sangka, kondisi ini mengganggu Bima lebih dari yang Bima kira. Nana lebih tertutup dari biasanya. Terutama menolak cerita panjang lebar setiap Bima menanyakan masalah Gibran. Karena yang Bima dengar Gibran masih pura-pura tidak tau soal hukuman kartu UNO. Bersikeras pura-pura tidak sadar. Betul-betul membuat jengkel melihat Gibran menyapa Nana keras-keras dari setiap sudut sekolah. Seakan Nana miliknya.

Tapi Nana juga bukan milik Bima.

Bima berdebat dengan dirinya selama berhari-hari. Keinginannya untuk merubah keputusan selalu hilang secepat munculnya. Terutama bila ia mendengar suara deringan telepon dari ibunya.

Seperti alarm pengingat.

Pengingat hari-hari Bima mendengar ayah ibunya bertengkar hebat. Hari-hari ayahnya lebih mirip mayat hidup dan ibunya sering menghilang selama berhari-hari di bulan-bulan awal sebelum perceraian. Hidup tanpa terikat kelihatan lebih bagus daripada hidup seperti mayat.

Kondisi ini di perparah dengan ayah Bima tiba-tiba membatalkan pernikahannya lagi sendiri. Semuanya mendadak. Dari awal begitu memutuskan sendiri, membatalkan sendiri tanpa banyak bicara. Cukup sebagai bukti kalau status hubungan tidak menjamin apa-apa. Status hanya membuat segalanya lebih repot.

"Kenapa?" Hanya itu yang di tanyakan Bima setelah ayah Bima mengabarkan keputusannya.

Ayah Bima membuka mulut hendak menjelaskan tapi Bima berjalan pergi lebih cepat. Ia tidak benar-benar mau tau alasannya. Buat apa tau? Toh tidak akan mengubah apa-apa.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang