Januari 2019-2

2.7K 439 3
                                    

Jadi yang di maksud 'kenalan' Bima itu ayahnya sendiri? Tunggu, artinya bosku sekarang adalah Bima? Jadi aku di gaji Bima? Lalu harga diriku dimana? Bisa-bisanya aku menjadi bawahan manusia yang membuatku emosi mencarinya selama bertahun-tahun.

Aku gemetaran marah, tapi di saat yang sama aku melihat bapak Ilyasa jalan pelan-pelan seperti keong di depanku. Tersandung-sandung kakinya sendiri di lantai ruang makan yang paling mulus. Aku menghela nafas kalah, bisa apa aku?

Tanpa sadar aku melirik kanan kiri. Bisa-bisanya juga aku baru sadar kalau ternyata ada dua CCTV tersebar di ruang makan rumah Bima. Itu juga yang baru kutemukan. Mungkin saja ada lebih banyak lagi CCTV di bagian rumah yang lain. Mungkin juga tersebar halaman.

Bima menonton siaran CCTV itu darimana ya? Apa Bima punya ruang pantauan CCTV khusus di kantornya seperti punya polisi lalu lintas itu? Memang sih alasan Bima memasang CCTV untuk mengawasi ayahnya dari jauh, tapi kok rasanya tetap saja tidak nyaman.

Kemudian sepanjang hari setelah makan siang, aku pura-pura tidak peduli di awasi CCTV dengan sibuk memotong bambu lagi. Seharian aku bekerja lebih seperti asisten tukang mebel di banding pengasuh. Menjelang magrib, pak Ilyasa pamit masuk ke dalam kamarnya. Sebelum masuk, bapak berpesan supaya aku menganggap rumah beliau sebagai rumahku sendiri. Bu yani juga sudah pulang sedari jam empat sore tadi. Jadi aku duduk diam sendirian di sofa ruang keluarga Bima,-lebih tepatnya duduk canggung. Aku ingin sekali pulang, tapi masalahnya aku ingat pesan bu Yani untuk jangan pergi sebelum anak pak Ilyasa pulang.

Aku tidak punya hal lain untuk dilakukan selain memperhatikan rumah Bima. Segala hal di rumah Bima serba minimalis dan di setel secara otomatis. Semua lampu termasuk lampu taman langsung menyala sendiri begitu langit mulai gelap, termasuk korden ruang tamu yang bergerak menutup sendiri. Bahkan juga alat penyedot debu kecil berbentuk lingkaran yang bergerak kesana-kemari sendiri tanpa di awasi. Tapi, semewah apapun tetap saja rumah Bima tidak nyaman untukku. Gerakan kecil saja rasanya salah. Bagaimana bisa nyaman kalau di pojokan ruangan saja ada CCTV. Bukan CCTVnya yang masalah. Yang masalah adalah orang yang mengawasinya,-Bima.

Pandanganku teralih ke lukisan di dekat CCTV. Pasti almarhum ibu Bima yang memilih lukisan itu karena Bima mustahil mungkin memilih lukisan bunga. Soal ibu Bima, padahal aku mengenal Bima sejak Sekolah dasar, tapi baru sekarang aku tau kalau ibu Bima sudah lama meninggal. Kapan beliau meninggal? Aku tidak tau. Bima sejak kecil tidak pernah secuilpun membicarakan orangtuanya.

Tak berapa lama, suara pintu gerbang yang dibuka dan suara deru mobil menyadarkanku dari lamunan. Jantungku berdetak kencang tanpa komando. Rasanya seperti aku duduk berjam-jam mengantisipasi kedatangan Bima dengan kening penuh keringat dingin. Perlahan aku mendengar suara langkah kaki mendekat.

Akhirnya aku memberanikan diri mendongak. Menatap balik Bima yang sekarang menatapku tajam dari dekat pintu kaca. Terakhir kali aku melihat Bima kira-kira seminggu yang lalu di ruanganku. Setelah itu Bima tidak pernah lagi tiba-tiba muncul di didepanku. Saat ini beberapa meter didepanku berdiri Bima. Menjulang dengan segala pesonanya. Bima, Orang yang kurindukan setengah mati selama bertahun-tahun lalu. Aku ingin benci Bima tapi tidak pernah bisa. Dari dulu begitu dan sampai sekarangpun masih sama.

Sebetulnya aku punya banyak pertanyaan untuk Bima, kenapa ia mempercayakanku untuk menjaga ayahnya, kenapa Bima tiba-tiba peduli lagi padaku setelah bertahun-tahun menghilang, kenapa Bima dulu pergi. Padahal ada sejuta pertanyaan tapi aku cuma bisa diam. Seperti minggu lalu, setelah makan kami berdua hanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kuantar kamu pulang sekarang." Bima memecah keheningan. Suara sepatu Bima bergaung dalam ruang keluarganya yang beratap tinggi. Bima melangkah semakin mendekatiku sampai aku bisa melihat dengan jelas pola kemejanya yang berwarna abu-abu.

Aku meringis mendengar suara Bima.  Kenapa harus sedih? Padahal semuanya kan sudah lama berlalu. Aku berusaha bersikap biasa saja dengan balik menanyakan kesehatan Bima hari ini. Bima menjawab 'baik' dengan anggukan singkat. Sudah titik tidak pakai koma dan kami mulai mengheningkan cipta lagi.

"Aku bisa pulang sendiri." Kali ini aku yang memecahkan keheningan.

"Naik motor? Nggak." Oh, ternyata Bima sudah liat motorku yang terparkir di bagasinya.

"Terus aku naik apa?" Tanyaku heran.

"Aku bilang, kuantar kamu pulang."

"Nggak mau." Jawabku sambil menggelengkan kepala keras-keras.

Bibir Bima menyunggingkan seringai seram. Aku mendengus. Aku kan bukan anak SMP lagi. Lagipula seringai seram Bima tidak pernah benar-benar membuatku takut daridulu. Aku tidak pernah benar-benar peduli saat Bima marah atau saat ia bicara ketus padaku. Sampai sekarangpun aku masih tidak tau apa alasannya sampai aku bisa begitu.

Jadi aku bergegas menuju garasi. Bima diam saja menatapku marah. Tapi aku tau Bima tidak bisa mencegahku. Soalnya memangnya dia siapa? Tapi oh iya, dia kan bosku. Tapi kalau Bima sampai nekat, aku pasti langsung resign.

Aku menghela nafas. Andai saja aku bisa langsung resign tanpa menunggu Bima bersikap keterlaluan. Sayangnya setelah seharian ini aku terlanjur peduli pada pak Ilyasa, ayah Bima yang sudah tua dan murah senyum itu.

Angin Pujaan Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang