2. Galau

3.9K 116 2
                                    

Ayah, mengapa kau memberiku beban amanat yang teramat besar di pundakku ini? Mengapa yah? Apa ayah tidak tahu, jika aku sama sekali tidak suka akan dunia bisnis, dunia yang akan membuatku menjadi seorang yang berhati busuk demi sebuah nama perusahaan agar kembali jaya. Hingga mereka rela berlomba untuk melakukan apapun, walau hanya se-ba-gi-an sih, tapikan tetap saja, batin Lio membisik lirih dengan kesal.

Taman, kata orang-orang tempat menggalau yang bisa menghilangkan sedikit rasa stress. Nyatanya, faktanya, realitanya Lio masih saja terngiang-ngiang omongan tentang dirinya yang tak lama lagi menjadi seorang presdir. Pimpinan tertinggi di perusahaan sang ayah.

"Ayah sudah lelah. Dan, saatnyalah kamu menggantikan posisi ini. Apakah kamu mau jika ayahmu ini hanya menghabiskan masa tuanya di dalam kantor jika kamu menolak permintaan ayah?"

Itulah alasan ayah yang membuatnya semakin resah dan tidak mau membuatnya susah.

Huhhh.
Andai berandai akan seperti apa jika ia anak dari kalangan keluarga biasa. Di mana mereka bebas mengatur dan bisa menggapai cita-citanya dengan sepenuh hati tanpa harus mengikuti keinginan keluarga dengan terpaksa. Mengingat tradisi sebuah keluarga kaya raya sepertinya—memiliki segudang saham yang harus terus menerus dikelola membuat Lio menyetujui keinginan tersebut.

Tak ingin menjadi anak pembangkang maupun durhaka membuat Lio tertampar akan sejuta cara penolakan yang ia lakukan. Ya, mau bagaimana lagi jika tidak menurut?

Plakkk.
Geplakan di pundak, menyadarkan Lio tentang dunia nyata yang ia pijak sekarang.

"Eh curut!! Lo ngagetin gue aja!" Kesal Lio tahu jika itu tepukan yang berasal dari teman karibnya yang bak jaelangkung. Datang tak dijemput pulang tak di antar, seenake dewe. Bukannya meminta maaf, malah memasang wajah cengengesan. Lio sudah hafal watak matadosnya (red, mata tanpa dosa).
"Sori man. Lo sih, mukanya ditekuk gitu ada masalah?"

Belum dijawab dan tanpa disuruh dia sudah mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Eh siapa yang nyuruh buat duduk di situ?" menyela sebal sembari meliriknya.

"Sudahlah. Ceritakan!"
Lio mendelik kesal ke hadapannya. Menyuruh, eh?

"Jangan kau lihat aku seperti itu. Aku tahu kok, kalo aku ini orang tampan seantero Asia," berucap sambil menaikkan kerah kemejanya dengan bangga.

Lio kesal, ditoyorkannya kepala supaya gak lagi sombong.

"Eh, gue tahu kok. Enricko Stefan emang ganteng nggak usahlah pake noyor kepala segala lo iri 'kan?" Menaik turunkan alis setelah mengelus-elus kepalanya sayang.

"Cih, pacar lo aja nggak punya," sinis Lio yang jujur, moodnya hari ini sedang tak bagus, eh ditambah omongan yang super pede dari Ricko semakin menambah kadar muaknya kali ini.

"Ah lo nggak asik, bahas masalah pacar. Lo tahu kan, bokap and nyokap udah jodohin gue ama someone yang sama sekali nggak gue kenal," keluh Ricko yang tanpa disuruh bercerita.

Lio mendelik. Tersinggung? Bahkan tak ada niatan untuk menghina ataupun mendengar keluhnya.

"Curcol nih?" sindir Lio.

"Nah itu masalah gue. Kalo elu gimana broh?" Cecarnya tanpa memperdulikan tanggapan Lio.

"Gue?" Lio menunjuk dirinya sendiri dan Ricko menggeleng. "Loh, kok? Kalo bukan siapa emang?" membuat bingung saja.

Ricko berseru. "Babi ngepet! Ya elu lah! Lagian di sini cuma kita berdua, odoy!"

Lio mendengus, apa aku curhat saja padanya? Kupikir, menumpahkan segala gundah padanya tidaklah buruk, batin Lio membisik.
"Jadi.... bla-bla-bla

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang