28. Menghindar

773 32 0
                                    

Terjadinya pertemuan pasti karena sebab. Tanpa mungkin ada tanpa musabab yang tengah tertulis. Atau dengan kesengajaan dibuat. Sekalipun benar, andilnya sedikit tidak lebih. Allahlah saja sang penentu terbaik bagi umat-Nya. Ainina mencoba mengertikan dirinya duduk di depan sang bos. Tangannya menjulur, menyerahkan beberapa berkas yang baru saja dimintai hard copynya.

"Kukira sudah. Ini sudah cukup Ainina, silahkan kembali ke ruang kerjamu."
"Baik Pak, saya permisi."

Lio menyadari sesuatu. Sesuatu yang ia sendiri masih meragui. Tangannya tanpa niat memegang dadanya yang berdesir. Ada apa ini? Kenapa berdetak cepat? Kemungkinan buruk apa? Apa jantungnya tak normal?

Hati kecilnya tahu di mana perasaannya itu. Perihal yang ia sendiri tidak tahu mengapa berbeda. Cenderung terlihat aneh. Berusaha bersikap sebaik dan setulus tanpa beban seperti keinginan sang almarhum. Mungkin bukan perkara jikalau saja Lio merasakannya tanpa detakan beriring riang. Entah sudah keberapanya, Lio tidak menghitung. Menjelas kenapa asal muasal pun rasanya mustahil untuk terkenang.

Terlalu cuek. Menyikapi hal demikian sebelah mata tanpa mengeruknya lebih dalam. Ia pun melakukan tanpa mempedulikan apa yang ada. Hanya sebatas pertolongan balas dan itu tidak lebih. Namun agaknya, lainnya itu ada. Setitik debu bergumul menjadi tetesan embun. Sejuk. Menyejukkan diri entah bagaimana rupa menjadi. Ayolah, bahkan ini tidak sekadar efek kasih terkering tapi pun merekah indah. Lio tidak tahu jika akan seperti ini.

Dipejamnya mata kuat-kuat. Menekan perasaan di sana. "Ini nggak mungkin. Ini nggak mungkin. Sadar Lio! Sadar!" gumamnya berakhir erang. Menjambak surai rambut hitamnya yang mulai memanjang disertai embusan napas bergemuruh.

Hah...
Lio kembali larut. Dalam bacaan laporan kantor yang Ai berikan padanya.

Berjalan seorang diri di jalan tidak masalah. Apa pun gunanya jika benar kalau berdua baik? Ya mungkin tidak asing mendengar ungkapan single is better than double is problem. Pemahaman super parah mana yang mengungkapnya dengan beberapa kecap kalimat? Ini mungkin benar dan mungkin juga salah. Benar saja kalau semua orang meng-ogahkan pernikahan, maka yang terjadi selanjutnya adalah ketiadaan ummat. Bukankah penerus sebenarnya di mulai dari sang bayi kecil? Lalu ungkapannya seolah memojokkan sudut di sisi tak tertahu. Tinggalkan demikian jika memusingkan. Memikirkan keluarga yang cenderung memojokkannya saja, membuat Alina berpikir ulang untuk tetap di sini atau pergi seperti keinginan sosok malam itu?

Hampir saja Alina terserempet motor. Seseorang menolongnya cepat tatkala beberapa jengkal lagi jaraknya terkikis, tubuh mungil Al sudah lebih dulu terengkuh sebelum terjadi. Alina sendiri syok. Ia tak percaya-hampir mengira diri sudah terjemput malaikat maut sampai mata tertutupnya berkomat-kamit, membacakan ayat apapun agar ia selamat. Namun Al tentu salah, ia sudah selamat dari maut. Begitu mata membuka-sosok wajahnya membuat ia berdiri dan membenahi tatanan rambutnya yang berantakan. Canggung.
"M-maaf pak. Saya benar-benar mengucapkan terima kasih kalau tidak, mungkin berakhir di rumah sakit."

Sosok pria di depannya tersenyum. "Tidak apa. Saya tadi kebetulan lewat jalan sini dan menemukanmu tepat sebelum motor menyerempet." Gigi putihnya tersenyum maklum dengan gerakan tangan tak masalah. Alina tersenyum kikuk. "Aku benar-benar mengucapkan terima kasih. Ah iya, perkenalkan, namaku Alina."

Menjumput tangan terjulur, pria berjaket kulit cokelat itu berkata seraya tersenyum manis di bibir indahnya, "Youssef. Namaku Youssef. Jangan pakai pak, karena hanya beberapa tahun di atasmu." Alina balas kekehan dengan penuturannya.

"Kau sudah menolongku. Bagaimana kalau kutraktir secangkir coffe late? Mungkin sebagai ungkapan terima kasih." Bahunya bergerak, menawari Youssef-sang pria penyelamatnya. "Boleh. Tapi mungkin lain waktu saja."

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang