10. Diantara Dua

1.2K 58 0
                                    

Bahagia dan sedih senantiasa beriring seperti sebuah perlawanan yang jika tak ada salah satunya, maka akan terasa hambar. Layaknya nasi tanpa lauk pauk. Yahh, begitulah kehidupan. Baik buruk senang duka, canda tawa, riang, dan murung senantiasa menghiasi hidup sampai akhir memisah hayat.

Apakah itu terlihat benar?
Lio menggeleng tegas. Hidupnya tak lebih dari sebatas penderitaan yang terus menerus terjadi secara beruntun. Keresahan hati serta beban hidup merasa kalut dalam masalah yang akhir-akhir ini terjadi. Semua begitu cepat dan terasa terperih.

Sehari setelah pemakaman sang ayah, Aisyah gadis kecil itu pun meninggalkannya. Gadis kecil yang selama ini sudah dianggapnya sebagai adik kesayangan sekaligus saudara tunggal baginya. Kini, harus direlakannya begitu saja. Tersedih dalam kebisuan bukan berarti buta dan seolah pekak. Tak mendengar apa yang terjadi namun semua terasa begitu tak adil baginya. Satu kesedihan saja belum kering, apalagi harus ditambah luka dalam. Tamatlah sudah apa yang terjadi dalam hidupnya.

Persoalan mudah bagi yang menerimanya dengan hati tulus. Tapi ia sudah mengikat janji dan terasa tak bertanggungjawab sekali atas apa yang menimpa adik angkat kesayangannya itu, Ais.

Menjamin hidup layak dan enak. Namun, ia mesti melakukan apa? Semua telah terjadi.

"Lio, lo nggak mau pulang?" Ricko berdiri di samping Lio. Menepuk bahunya pelan, kala pelayad satu persatu telah pergi meninggalkan dua orang yang masih setia menunggu entah sampai kapan. Jelasnya, hari sudah mulai gelap.

Lio yang tengah jongkok di tepi pusara menoleh. Matanya memerah menahan air mata kesedihan yang masih tertahan. Benar, ia tak mau bila di dalam kubur sana Aisnya terusik oleh isak tangis miliknya.

"Ferlio Andres!" tegas Ricko begitu Lio tak menanggap, hanya sekedar menatap sekilas lalu kembali berpaling. Menghadap kubur Aisyah yang masih basah dan ditabur bunga tujuh rupa. Membuat harum semerbak menghiasi indra pencium. Namun bagi Lio, hal itu tak ada ubahnya. Penyesalan, kesedihan dan ketidakberdayaan tercampur dalam satu rasa yang tak bisa ia jabarkan secara rinci.

Padahal sudah sepenuhnya ia mencoba untuk mengikhlas, tapi... ketidakrelaan masih saja bertengger di dalam benak. Terutama saat kembali mengingat betapa berdosanya Lio, yang secara tak langsung menelantarkan Ais dengan membawanya ke panti asuhan yang belum terjamin keamanannya. Sekalipun salah seorang pengawas yang disewanya selalu berada di samping Ais, tak menuntut kemungkinan bila kecelakaan tersebut tidak terjadi.

Human error dan lost contact terjadi secara tiba-tiba. Tak ada yang dinyana layaknya keberuntungan yang bisa saja berpihak pada siapapun selagi untung. Begitu pula yang terjadi saat pengawas sewaannya mengalami human error. Ia teledor dan lupa jikalau waktu itu Aisyah pergi meninggalkan panti asuhan. Tepat setelah penindasan yang dilakukan oleh teman-teman sepantinya tak lagi mampu untuk ia tampung. Tak ada yang mau bercerita dan memberinya motivasi seperti dulu saat sebelum Lio dan Ricko sibuk akan urusan masing-masing hingga melupakan Aisnya tertengok barang sedetikpun. Ais yang waktu itu terkalut mengambil jalan pintas seperti di dalam scen sinetron. Dimana saat tak lagi sanggup untuk menghadap kenyataan, ia  berlari sebisa yang dimampu. Sebelumnya, Ais sudah bersabar selama belakangan ini. Tapi untuk saat itu kemungkinan besar semua masalahnya tak lagi bisa untuk dielak olehnya.

Pemikiran anak kecil yang terbiasa meniru akan apa yang ia lihat benar, maka ia akan ambil lalu mempraktekanya. Tak terkecuali Ais, gadis kecil yang baru menginjak usia tujuh tahun jalan harus mengalami kepedihan dalam hidup. Terbully dan terasingkan dalam lingkup panti asuhan yang banyak sekali membicarakan hal yang tidak-tidak, membuat Ais kecil tersedih. Anak pungut, anak buangan, bahkan anak terlantar sudah menjadi capnya. Sebagian dari mereka memang anak yatim piatu dan orang tuanya tidak mampu, namun hanya Ais seorang yang tak mempunyai siapa-siapa atau asal usul yang jelas dengan nasabnya. Sedangkan Lio yang tahu lewat mata-mata bayaran, merasa terpedih mendengar penuturan yang demikian. Bagaimanapun jua, Ais masih kecil dan masih ingin mendapat perlakuan manis layaknya anak kecil yang selalu dimanja dan diberi kasih sayang. Bukan dititipkan di panti lantas tertinggal begitu saja. Rasa-rasanya... Lio seperti seorang pecundang yang tidak mau mengambil risiko untuk membawa Aisnya masuk dikehidupan pribadi miliknya. Masalah wartawan dan publik, ia bisa menyewa orang untuk menjaga kerahasiaan. Toh, itu mudah baginya seperti jentikan jari yang sekali jentik langsung terlaksana.

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang