33. Identitas Diri

729 27 0
                                    

Alina setengah mengumpat sekaligus kesal. Ucapan youssef malam itu tidaklah main-main. Ia kabur dari sana saat Youssef tengah berkata pada satpam untuk memasukkan mobil ke garasi. Dikiranya aman dan langsung pergi tanpa pamit. Namun nasibnya tak mujur. Youssef tahu itu dan tidak berniat untuk mengejar Alina yang sudah menjauh dari rumahnya. Bibirnya terlukis geli untuk esok hari.

Suara ketukan semakin membesarnya membuat tidur lelapnya terbangun seketika. Alina mengucekkan mata dan segera membuka pintu kosan. Terkejutnya bukan main kalau Youssef di sana tengah berdiri di depan pintu kosan. "Kau pikir kau bisa lari Alina? Tidak kan?"
Alina yang dasarnya masih mengantuk menguap lebar dan langsung mengerjapkan mata. "Baik. Baik. Aku lelah dan aku ngaku kalah! Puas?!" bentaknya yang ditanggapi kekehan.

"Yang benar Alina! Jangan lemah begitu! Kau pikir ini akan selesai cepat dengan keleletanmu itu?" celoteh Youssef dengan suara menyebalkan. Alina hanya memutar matanya malas begitu tangannya dengan sigap membenahi tatanan bunga hias milik si empu rumah. "Kenapa harus aku sih? Tukang kebunmu mana?"

"Tukang kebunku lagi sakit dan tangan terampilmu kukira jauh lebih bagus dibandingnya."

"Sungguh! Aku nyesel buat beneri tanaman kamu yang rusak waktu itu!"

Alina ingat saat pertama diajak Youssef untuk ke tempat kerjanya. Ah lebih tepat kafe miliknya yang memiliki tema naturalism sebagai daya tariknya. Di sana Alina tak sengaja melihat satu tanaman yang setengah membusuk terkena hama. Ia dengan cekatan meminta Youssef untuk meminta gunting rumput. Memotong bagiannya yang terkena hama lantas terlihat lebih baiklah tanaman tersebut.

"Ah iya. Kulihat kau pantas untuk jadi tukang kebunku. Usai lulus kuliah, saranku, melamarlah di sini dan pasti kuterima dengan baik."
Alis Alina sungguh bertaut. Tangannya yang tengah memegang gembor untuk menyiram tanaman semakin erat terpegang. "Youssef ini enggak lucu! Kau pikir aku ini mahasiswa gagal dalam penyeleksian lulusan yang berkompeten dibidangnya?"

"Yah aku hanya menduga. Karena kamu sudah sering membolos bukan? Memangnya ada perusahaan besar yang akan mengangkatmu jadi karyawan? Jadi tukang kebun di rumahku itu halal lagi pula jauh lebih baik ketimbang menambah masa pengangguran yang semakin."
"Sudah puas?"
"Belum."
"Youssef!"

"Baiklah. Sepertinya aku akan mendapat amukan. Ingatlah Alina, aku hanya mengingatkanmu saja. Kau kabur bukan berarti melalaikan kewajiban sebagai mahasiswa dan aku sudah pernah bilang untuk menunjukkan bahwa kau pun bisa menjadi sukses jauh di atas kakak yang kau bilang itu. Dan satu hal lagi Alina, cepat atau lambat kau akan menyadari kebenaran yang sebenarnya."

Alina hanya terdiam sampai Youssef berlalu dari hadapannya. Benarkah? Ucapannya bak malaikat. Baik sekali untuk menasehati. Bahkan hubungan pertemanan mereka belumlah genap dua bulan dan Youssef seolah memahaminya sudah bertahun-tahun. Sudahlah. Ada baiknya diabaikan, akalnya malah berkata kalau Youssef adalah benar dan dirinya perlu pemikiran lebih.

***

Suara hiruk pikuk yang tercipta oleh aktivitas keseharian, menyadarkan Lio tentang arti hidupnya saat ini. Tentang kewajibannya. Tanggung jawab seorang anak, penanggung beban amanat yang seharusnya berjalan dengan mulus semulus kain sutra berubah cepat secepat monorail melajukannya. Sewajarnya Lio bisa menjaga hati. Sewajarnya Lio segera mengakhiri. Sewajarnya Lio berkata jujur sedari awal dan mengakhirinya. Akan tetapi sekarang memang sudah terlambat jauh. Lio terlalu larut dengan kebersamaannya bersama Ai yang sudah terbiasa berada disisinya selalu hingga perasaan suci itu hadir di tengah Lio yang tak menyadari hatinya yang dulu bungkam tak bersuara kini menyurukan detaknya tanpa henti. Jantung yang selalu berdenyut bertatap lembut matanya. Hati yang merasa tenang begitu berada di sisinya. Keraguan dan ketidakpastian sudah pasti akan menjadi penghalang jikalau Lio tak bisa menyakininya tentang perasaan ini. Perasaan yang baru saja ia sadar jika ini nyata bukan semu. Ai sudah lama tak menampakkan wujudnya barang sedetik pun dari hadapannya. Lio pun sudah mengusahakan diri untuk menjauhinya. Karena ia tahu ini ulah dan salahnya. Ia pun tak pantas diri berada di samping sang pujaan. Ia terlalu—entah. Lio tidak bisa menjelaskan dirinya yang terapuh sekarang. Meski raga terlihat sehat bugar namun siapa sangka dibalik kerangka tubuh yang sehat terdapat jiwa yang tersakit. Sedihnya tak lagi ada obat jika Lio tidak segera mewujudkan apa yang sekarang ia inginkan. Ia pun sudah jauh di atasanya bahkan sekarang pun Lio tidak tahu harus melakukan apa meski tangan dan pikirannya berusaha mengalahkan perasaan yang dirasanya akan semakin mendalam dan mengacaukan padatnya aktivitas saat ini.

Suara ketukan pintu menyadarkan sosok yang tengah mencoba larut dalam pekerjaannya namun tergagal karna pikirnya belum juga meredam. Kegalauan mungkin atau bisa terfrustrasi.

"Masuk!"

"Jadi begini selama kamu bekerja, Lio?!"

Suara itu membuat Lio tersadar. "Kak Keyla?"

Ada senyum tipis di bibir Keyla begitu mendaratkan dudukan di atas sofa. Lio mendesah pendek, mengikuti duduk di sebelahnya.

"Tumben apa kakak kemari? Tidak sibuk dengan bisnis online?"

Keyla terkekeh mendengar sedikit sindiran dari sang adik. Ia tahu sedikit kesal mungkin akibatnyalah Lio sering sibuk di kantor dan jarang meluangkan banyak waktu untuk sekadar beristirahat di rumah dalam sehari penuh. Lio selalu pergi pagi pulang malam. Bila pun waktu libur, ia lebih memilih berada di kantor cabangnya yang lain untuk mengecek seberapa perkembangannya lalu pergi berjalan menghilang penat di sebuah kafe atau bertemu dengan sahabatnya yang sekarang sibuknya mengalahkan dirinya.

Lio sendiri tahu kalau Ricko sedang kasmaran dan akan mengambil bulan madu yang tertunda. Untuk itu, sahabatnya sedang sibuk mengejar target agar tidak ngaret.

"Lio. Kau mendengarkan kakak?"

Sang adik segera memfokuskan kembali pikirannya yang sempat mengelana. "Yeah, aku mendengar. Kakak bicara apa?"

"Aishhh... Katanya mendengar tapi malah balik tanya."

Lio mendengus. "Kalau tidak ada, sepertinya makan siang lebih enak," ujarnya menengok jam tangan yang sudah menunjuk pukul 12.00 WIB. Keyla memutar mata malas mendengar nada sok bossy sang adik. "Err... Bilang saja kalau lapar. Nih, kakak bawain makanan buat kamu."

Kedua matanya menatap bekal yang dikeluarkan Keyla dari paper bag berganti menatap maniknya meminta maksud. Keyla tersenyum tipis. "Makan dan kakak bicarakan nanti."

Keterdiaman menemani mereka sampai suapan terakhir di mulut Lio selesai. Keyla memposisikan diri. Menyampaikan maksudnya mengunci manik hitam sang adik.

"Kakak saat ini tidak berpikir jika hal yang dulu harus segera selesai," lirihnya mendesah.

"Apa itu Kak? Apa kejadian silam sudah menemukan titik terang?"

Keyla yang mengerti maksud dari perkataan Lio menggeleng. "Tidak adikku. Tidak sepenuhnya. Ini mengenai ibu."

Pria berstelan formal nan kaku hanya menutupkan kedua matanya. Tidak salah lagi persoalannya sama seperti dua bulan yang lalu. Hidungnya mengembus napas lelah. Tangannya mencubit pangkal hidungnya yang seketika pusing.

"Memangnya ibu kenapa? Baik-baik saja bukan?" tanya Lio. Keyla tersenyum lemah. "Keadaan ibu sekarang baik. Tapi tidak dengan pikirnya. Ibu menginginkanmu untuk segera menikah."

Tak salah lagi. Lio kembali menutup mata, mengusir kepenatan yang semakin menumpuk. "Ahh sudah kuduga. Bagaimana kelanjutannya Kak? Apa Ibu tetap memaksaku?"

Keyla mengangguk lantas menggeleng. "Entah Lio. Ibu sekarang terlihat jarang berbicara dan cenderung melamun. Aku enggak tahu alasannya membuat kakak semakin bingung. Mengartikan maksud tersirat karena ibu jarang mengungkapkan isi hatinya akhir-akhir ini." Lalu dahinya mengerut menatap Lio. "Mungkin karnamu Lio ibu jadi seperti ini. Sebaiknya, kau pulang dan tengoklah ibu barang sebentar saja. Biarkan pekerjaanmu ini Pak Wida yang urus," saran Keyla menyebut nama tangan kanan kepercayaan sang almarhum yang sekarang berpindah di tangan Lio sang adik.

"Baiklah. Kita pulang ke rumah Kak," putus Lio setelah menelpon Pak Wida lalu menimbangnya.

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang