13. Pertemuan

1K 46 0
                                    

Pria itu mantapkan diri. Menarik napas dalam dan keluar dari mobil. Ditatapnya rumah berdesain sederhana itu dengan pandangan berat.

Kamu pasti bisa, ya.. pasti bisa!

Sedikit menarik ujung jas kemudian melangkahkan kaki dengan mantap. Begitu sampai di depan pintu berpelitur cokelat, ia ketuk pelan. Hingga salah seorang di dalam keluar. Menampakkan sosok wanita yang terheran.

Big boss? Ada apa kesini?

"Assalamu'alaikum. Maaf, apakah saya mengganggu?" katanya.

Wanita berkursi roda itu menjawab salam tidak mempermasalahkannya dan menyuruh sang mantan bosnya masuk.
"Sebelumnya maaf, rumah kami seperti gubug," ringis Ainina begitu menyusul sang mantan bosnya yang sudah duduk di kursi.

"Ah tidak mengapa."

Ainina berinisiatif membuat minuman sekadar menghormati tamu.

"Tidak usah repot-repot. Saya tidak enak jadinya."

"Enggak pak. Saya nggak papa kok," jelas Ainina yang langsung mengarahkan kursi rodanya ke arah dapur.

Lio menutup mata, menghela napas sejenak. Hatinya merasa perih. Menatap keadaan rumah mantan karyawannya yang jauh dari kata layak. Kalau dia mungkin sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, tapi sungguh saja jika menurutnya tidak.

Rumah ini memang bersih dan sedikit nyaman. Hanya saja, ubinnya masih menggunakan plesteran semen belum memakai keramik putih seperti rumah kaum menengah kebanyakan. Dan lagi, tempatnya sempit dengan ruang tamu yang menurutnya kurang enak dipandang. Kursi kayu dengan beberapa bagiannya yang sudah melapuk.

Apa uang yang kuberikan belum terpakai?, pikirnya heran.

Dengan keadaan Ainina yang seperti  itu, sudah dipastikan jika uang yang diberikannya belum terpakai ataupun belum mengetahuinya dengan benar. Untuk mengurus masalah sendiri saja mungkin sudah sulit bagaimana rupa memikirkan hal lain?

Tapi, bagaimana dengan bahan pokok yang selama ini diberi secara rutin? Apa terpakai? Atau belum tertahu?

"Maaf pak, saya hanya bisa menyediakan air putih ini saja." Ainina dengan pelan meletakkan segelas air putih dihadapan mantan bosnya. Membuat pikiran yang sempat membara jauh terhenti dan menatap Ainina dengan senyuman tipis miliknya. "Ini sudah lebih dari cukup," katanya sambil mengambil gelas tersebut yang lantas diminumnya.

Ainina sempat terpana mendengar penuturan sang mantan bosnya. Kiranya, ia tak akan mau dan berkata tak baik. Tapi nyatanya ia menerima dengan meminum air putih yang telah disajikannya, apalagi ditambah dengan senyum manis miliknya. Ahh, Ai tak sanggup melanjutkan pembahasan ini hingga menundukkan pandangan begitu mantan bosnya usai meminum dengan sekali tenggak.

"Maaf saya sedang haus jadi langsung cepat habis," katanya sedikit bohong, padahal ia tak tahu harus memulai ini dari mana.

"Ah tidak apa saya mengerti kok."

Lio berdehem sejenak. Menetralkan rasa aneh yang sejak tadi menghantui hatinya.
"Khemmm... Sebenarnya kedatangan saya kemari hanya mau menjenguk kamu yang katanya habis kecelakaan. Apakah itu benar?" katanya berpura tidak tahu. Padahal ia tahu dan dengan jelas bukti itu terpampang nyata. Bagaimana ia tak bisa membedakan? Ia sedikit merutuki pertanyaan konyolnya itu. Kalau berpura, setidaknya memilih pertanyaan lain.

"Benar pak. Maaf jika selama ini tidak ada kabar di kantor selama saya dirawat," lirih Ai menunduk,

"Bukan tidak ada kabar hanya saja saya terlalu sibuk hingga belum sempat menjenguk," sangkal Lio yang memang berita ini santer terdengar di surat kabar nasional. Ai mengangguk. "Bagaimana kabar kamu?"

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang