32. Keyakinan

668 26 0
                                    

Sudah satu bulan kiranya, Lio taklagi berhubungan dengan Ainina. Sekadar kabar burung atau pun apa semuanya sudah terputus begitu mudahnya tanpa usaha dari Lio. Hatinya masih belum melupakan kejadian kemarin. Penolakan keras darinya membuat Lio tersadar. Jika cintanya takkan bisa terbalas, apalagi kelak tahu mengapa Lio selama ini terlalu peduli. Akankah Ai menerimanya? Menerima semua kenyataan yang sebenarnya? Memikirkannya saja Lio tidak tahu bagaimana agar tersampai tanpa menyakiti Ai. Hati itu terasa suci dan tulus. Jika mengungkap kebenaran sekali pun, Lio tidak sanggup untuk selanjutnya. Banyak rencana yang sudah ia susun namun hancur dalam sekali waktu. Seolah membebani pikirnya yang terasa kurang mencukupi dengan keadaan, sosok masa lalu kembali hadir memenuhi waktunya. Lio menutup mata—menekan kuat geraman lelah yang sudah ia tahan tanpa perlu membayangkan. Ia selama ini sudah cukup merasa kecewa. Menanti yang dinanti-nanti malah mengantri yang terantri antri. Bagaimana rupa sosok tak berperikemanusiaan itu menantikan kebodohan dalam diri? Sosoknya tak seharusnya berada terlalu dalam di lubang yang sama---akan tetapi indra penyecap dan akalnya yang waras merenggut semua yang seharusnya tidak terjadi. Apakah layak terduduk diri dengan lemahnya di lembah masai. Sakitnya bisa menghancurkan tubuh jikalau sangat curam.

Kepalanya lagi-lagi menggeleng pias, menghentakkan keruwetannya yang semakin. Lio butuh seseorang untuk menenangkannya. Tapi pun ia bingung siapa seseorang itu yang pantas dijadikannya penolong. Ia butuh pencerahan segera sementara Ricko sang teman sudah banyak membantunya dulu—pun sosoknya tak lagi bisa ia andalkan dan Lio tak mau mengusik hubungan Ricko yang sudah menunjukkan mekarnya bersama Andien.

Kembali, sensor-sensor kepalanya menunjukkan indikasi yang begitu berat. Dengingnya Lio mencoba redam menggunakan sugesti bahwa ini akan baik-baik saja. Akan tetapi, sayang seribu sayang kalau hati dan pikirnya tidak sejalan dengan harapannya. Hingga sampailah Lio menidurkan dirinya sejenak di atas tumpukan berkas.

Senja menunjuk waktu petang. Wajah-wajah lelah nan kuyu sehabis menjalankan rutinitas di pagi hari sampai sore menjelang sangat kontras dikenali. Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang sebenarnya mengenai alam. Mungkin makhluk hidup bernama manusia tak menyadari diri bahwa alam pun lambat laun merasakan lelahnya. Merasakan bagaimana penciptaan semesta yang di buat oleh Sang Kuasa ini sangatlah sudah lama. Lihatlah sekelilingmu dan berkaca. Berapa banyak kiranya perubahan yang silih berganti—berlalu begitu cepat tiap tahunnya. Perkampungan kumuh dan kuno—kini telah mengalami perkembangan zaman yang snagat pesat. Akulturasi budaya, percampuran antar ras suku, silang perkawinan dan banyaknya sudah mengalami tahap evolusi—sampai sekarang kita melihat perbedaannya yang signifikan.

Indonesia. Negeri sejuta perbedaan. Negeri bertoleran. Negeri berintegrasi. Negeri seribu perbedaan; namun bisa bersatu karena kita satu jiwa satu bangsa satu tanah air, Indonesia. Semua indah terasa jika rakyat rukun damai sentosa. Namun siapalah duri tercipta bila tidak untuk menusuk. Tapi pun sebagai pengingat yang sebenarnya.

Alina sudah satu bulan ini menjauh dari kehidupan bersama sang bunda dan Kak Ai-nya. Ia menampik. Mengasingkan—seolah diri bukan bagian darinya, hingga mengambil jarak sekian untuk mengambil jejak. Sedikit pun, Alina tidak berpikir banyak mengenai keputusannya yang terkesan kabur. Lari dari kenyataan yang seharusnya ia hadapi betul. Bukannya seperti pecundang teri. Alina sudah teracuni. Terangsang iri yang begitu dalam. Kiranya sudah menjadi penentuan tepat kalau jalannya ini adalah benar. Tiada kabar memberinya bagi untuk keluarga nampak santai tak mengindah. Alina bahkan sedikit demi sedikit larut dalam dunianya yang sekarang. Dunia yang mengajarkannya tentang kehidupan yang sebenarnya. Di mana pergi malam pulang pagi untuk have fun adalah hal lumrah dan tiada larang. Apalagi untuk hal remeh seperti bolos saat jam kuliah, Alina paling jago untuk berkelit alasan.

"Lin. Kenapa gini jadinya sih? Udah kepengaruh siapa?"

"Iyah, makin hari kayaknya makin nggak jelas deh. Hidup elo yang dulu egp mana Lin? Ya emang sekarang lo udah egp tapi ini terkesan ada yang ditutupi deh!"

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang