31. Episode Baru

678 30 0
                                    

Ai saat ini sudah pulang dari kantor lebih pagi. Bunda merasa heran melihatnya.
"Kau sudah pulang Nak? Apa pekerjaanmu tidak banyak? Kemarin sampai larut loh," tegurnya memperingati Ai begitu menjawab salam. Ai menyembunyikan sedihnya dengan senyum. "Tidak Bun. Ai sudah berhenti bekerja."

"Loh bagaimana bisa? Bukannya Pak Lio itu orang baik dan enggak mungkin berbuat jahat sama kamu kan?"

Ai mana bisa menjelaskan keseluruhannya. Baginya, Pak Lio orang baik dan Ai merasa sudah mencuranginya dengan berbagai cara sekalipun hal itu tidaklah benar karena Lio sendiri yang menangani dan melakukannya tanpa paksaan. Tapi Ainina tentu takkan mampu melanjutkan apa yang sebenarnya tidak terjadi meski harus mengindahkan perasaan hati kecilnya.

"Enggak sama sekali Bun. Pak Lio memang orang paling baik yang pernah Ai kenal. Dia sosok yang sudah mewujudkan mimpi Ai menjadi kenyataan." Senyumnya mengembang melihat Bundanya yang nampak mengerut. "Bunda, Pak Lio selama ini sudah banyak membantu Ai dan Ai rasa---Ai sudah cukup sampai di sini saja. Ai enggak mau lagi membuat beban buat Pak Lio. Lagi pula, cita-cita selama ini adalah Ai bisa membangun usaha kecil-kecilan di rumah bersama bunda. Ai sudah lelah menjadi karyawan kantor. Waktunya kurang fleksibel, Ai pun kurang bisa menjaga Bunda. Kalau di sini kan tidak."

"Baiklah jika itu keputusanmu Ai. Bunda hanya bisa mendoakan hal terbaik buat kamu," jelas bunda disertai senyum yang mengembang tulus. Ai balas pelukan hangat dengan senyum yang takkalah senang. Mereka kini tengah menikmatinya. Kehangatan kasih milik sang ibulah membuat Ai merasakan ketulusan itu.

Brukkk...
Suara pintu terbuka dari depan membuat Bunda dan Ai tersentak melihat siapa yang tengah memasuki rumah. Alina, gadis yang tengah menginjak usia dewasa dan rentan dengan kelabilan itu menatap mereka dengan raut kaku. "Mengapa tidak dilanjutin?"

Mata itu memerah menangkap basah keduanya seperti maling ketangkap. Ai segera melepas peluk menatap adiknya begitupula bunda yang kini menatap si bungsu.

"Alina...," lirih Ai menatap sendu Alina yang nampak menyimpan suatu rasa. Alina sendiri merasakannya---merasakan apa yang dibilang pria itu mungkin benar dan pilihannya kali ini sudah mantap. Diboyongnya beberapa helai pakaian lantas dimasukkan ke dalam tas besar yang sudah membuluk itu dengan tergesa. Bahkan cepatnya, Alina sampai tidak mempedulikan jumlahnya yang sudah menyembul besar tidak rapih di sana. Diangkatnya tas tersebut lantas menyeretnya keluar dari sana. Ai dan Bunda yang masih berdiri tertegun menatap Alina yang membawa tas besar.

"Alina... Kamu mau kemana Nak?"

Alina menghentikan langkahnya tanpa membalikkan tubuh. "Mulai hari ini dan detik ini, Alina pergi. Menetap di kosan jauh lebih baik dibanding berada di sini," katanya. Ai mencoba cegah begitu pula Bunda. Namun Al sudah lebih dulu melepas pegangannya. "Bunda dan Kak Ai jangan ikut campur lagi. Alina akan baik-baik saja sampai waktunya tiba."

"Alina," nadanya terdengar putus. Bunda terlalu syok dan kecewa dengan perubahan sikap Alina yang nampak membenci. Pelupuk laranya tak lagi sanggup, keluarlah air mata yang tertahan. Menatap kepergian putri bungsu yang disayangnya. Ai hendak saja menyusul Alina yang nampak sudah menjauh. Akan tetapi, tatkala melihat Bunda tersedih membuatnya urun tangan.

"Bunda."
"Alina, Nak. Alina...," lirihnya berderai. Kakinya meluruh jatuh ke lantainya yang kotor. Ai menjongkok menghadap sang Bunda. "Ai akan menemui Alina. Sekarang Bunda, Bunda..."

***

Musim belum usai terganti hujan. Masih sama. Mentari berteriknya dengan sinar kemilau. Hangatnya membungkus, mengantarkan kekuatan tersendiri yang tersembunyi.

Sudahlah kiranya Ai mencari Alina selama beberapa hari ini. Dari teman terdekatnya sampai tempat yang memungkinkan Alina berada. Namun rupanya ikhtiar Ai belum menemukan hasil. Bunda. Keadaan sang ibu saat ini rupanya sedikit menurun. Tepat semenjak Alina pergi, Bunda mengalami imunitas yang menurun. Tubuh ringkihnya secara drastis melemah. Selain faktor usia, beban pikir mengenai sang bontot pun menjadi hal utamanya. Alina, anaknya, adik Ainina, anak bungsunya yang tersayang. Entah apa yang dipikirkan olehnya sampai nekat memilih pergi jauh dari rumah ini. Apa kasihnya tak cukup? Selama ini sang bunda selalu memperhatikannya sampai hal sedetailnya. Meski tidak langsung hanya Ai sebagai perantara untuk memastikan bahwa si bungsu tetap memiliki apa pun yang selama ini terpenuh. Ai sepenuhnya menuruti betul apa yang diinginkan sang Bunda itu. Seberapa besar langkah yang selama ini ia capai sepenuhnya untuk bunda dan adiknya. Bahkan sempatnya dalam waktu luang kerja, Ai memperhatikan Alina dari jauh. Menjaga dan mengawasnya supaya aman selalu. Tapi untuk sekarang, Ai tidak tahu harus ke mana dan bagaimana lanjutnya. Pemikiran labil sang adik yang sedikit terpengaruh di usianya yang masih dini, membuat kecemasan Ai bertambah. Ia khawatir dan sama cemasnya seperti Bunda yang sekarang terlemah di atas kasur. Tapi Ai dengan kekuatan hati, menyembunyikan semuanya. Berusaha tenang agar bunda pun tenang. Ia tak lagi menyusun rencana untuk usaha yang akan dirintisnya segera sebelum Alina ketemu setidaknya setelah Bunda sudah sehat betul dan ia bisa membagi waktu untuk keduanya.

"Alina...Alina...."

"Bun, bunda. Bunda sadarlah," lirih Ai begitu gumaman sang bunda mampu menitikkan air di ujung matanya. Bunda nampak gelisah. Memandang langit kamar dengan kosong dan membuka tutup mata tanpa melihat Ai yang tengah menahan sedih. "Bunda. Bunda minum obat dulu yah? Baru bunda bisa tidur kembali dan Ai akan menemukan Alina segera," yakinnya membujuk.

Bundanya nampak menoleh ke arah Ai yang berharap, kepalanya menggeleng. "Tidak Ai. Sudah minggu ini Alina belum pulang. Bunda cemas dan khawatir. Adikmu itu seorang wanita dan baru menginjak dewasa pikirannya pun masih labil terbawa suasana yang mudah terpengaruh. Kamu tahu kan dunia luar macam apa?"

Ai menitikkan air mata mendengar penuturan bunda yang saat ini mengkhawatirkan keadaan Alina. Ia tak sanggup dengan keadaan luar yang akan membuat Alina jauh dari mereka.  "Bunda, bunda jangan berpikir yang enggak-enggak. Alina pasti ketemu. Ai akan janji kalau adikku itu akan baik-baik saja dan enggak akan ada apa-apa. Jadi bunda enggak boleh cemas. Pikirkan kondisi kesehatan bunda. Lebih baik bunda minum obat dan istirahat, soal Alina biar Ai yang akan memegang omongan Ai barusan kalau Ai bakal nemuin Alina. Segera. Bun," lirihnya memegang erat kedua tangan sang bunda yang mulai termakan usia. Bundanya hanya mampu menutupkan mata dengan linang yang mengalir dari sudut matanya. Membiarkannya sampai turun ke dagu. Ai mengusap dan kembali menenangkan. "Bunda, bunda percayakan sama Ai bun. Ai bakal janji buat sekeras tenaga agar Alina balik lagi ke rumah kita kayak dulu," putusnya menggebu kembali meyakini. Sorot itu penuh dengan angan, kemantapan hati akan jiwa seorang kakak yang kembali membara.

Namun kepala ibunya menggeleng lemah, firasatnya mengakatakan hal lain. Tetapi sebagi seorang ibu ia juga harus meyakininya.
"Bunda enggak tahu nak. Bunda enggak tahu lagi harus apa. Bunda ini sudah tua dan semakin hari rasanya tubuh bunda udah enggak kuat. Bunda harap, kamu akan menemui Alina dan menjaganya selalu sampai sebelum akhirnya malaikat izrail mencabut masa bunda di bumi."

Suara bunda begitu lemah. Seolah ia tengah berpasrah akan keadaan yang mungkin memang inilah saat yang tepat.

Dengan kasar, Ai mengusap air mata yang tengah mengering diujungnya. Ditatapnya kembali sang bunda dengan kesal. "Bunda ngomong apa sih? Bunda jangan bicara begitu. Semua akan baik-baik aja. Bunda akan sehat dan Alina akan ketemu, jadi bunda jangan berpikir macam-macam, cukup meminum obat dan istirahat," kata Ai bunda hanya tersenyum lelah. "Bunda hanya ingin kedamaian. Jika sudah waktunya, bunda bisa apa Nak?"

Kemudian Ai membawa sang bunda dalam pelukannya. Menggoyangkan pelan lantas bergumam. "Percayalah Allah bunda. Percayalah. Aku yakin harapan baik masih bisa merubah semuanya," katanya menenangkan. Bunda hanya terdiam menikmati kebersamaannya bersama si sulung yang kini mencoba menghiburnya. "Semua baik-baik saja, bunda. Semua akan baik-baik saja seperti dulu yang hidup bahagia."

Tesss...
Kerlingan itu kembali turun membasahi pakaiannya. Ainina maupun bunda nampak larut dalam suasana sedih hingga Ai berhasil membujuknya untuk meminum obat. Ibunya hanya mengulas senyum tipis sebelum Ai membaringkannya perlahan ke tempat tidur.

"Istirahatlah. Bunda pasti capek. Aku akan keluar mencari Alina," katanya.

.

.

.

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang