Alina merasa bahwa dirinya tengah terpupus dalam harap. Memimpikan hidup sempurna seperti dalam dongeng sebelum tidur. Dimana seorang putri akan bertemu dengan sosok peri baik hati yang lantas mengubah kehidupan kumuhnya menjadi mewah nan megah. Istana besar bertabur kristal mahal menjadi penghiasnya yang cantik. Sesiapun gadis akan menginginkan kehidupan yang demikian. Namun saat semua harapan terpatahkan dengan begitu mudahnya, tentu sangatlah menyakiti hati Alina.
Ia seorang perempuan. Yang juga memiliki perasaan sehalus kain sutra. Setipis kapas yang mudah terusak dan juga beterbang. Meski sikapnya sering berlainan dan sering berambisi besar mengenai suatu hal. Tetapi semua semata karna keinginan hatinya.
Ia pun tahu jika berlaku tak bermoral, maka hidup rusak. Seperti pepatah berkata. Siapa yang menanam benih maka dia akan menuainya suatu saat. Begitu pula dirinya yang menanam benih kebencian maka kesengsaraan yang akan merusaknya tiba.
Dihelanya napas berat kala ingin menghampiri pintu depan rumah. Namun ia mengurungkan diri saat seseorang keluar dari dalam.
Terlihat kak Ai tengah mengantar seorang pria yang keluar tersebut dengan seulas senyum. Buru-buru ia menyembunyikan diri di balik pohon besar tatkala pria itu masuk ke dalam mobil mewah yang terparkir di depan teras rumah.
Begitu jelas derungnya yang lamat-lamat pergi, Alina menghela napas. Lega.
Dirasa cukup, ia mengetuk pintu dan melewati kak Ai begitu saja.
"Kamu kemana saja dik? Kak Ai cemas seharian kemarin memikirkanmu," tanya Kak Ai menyusul Alina yang hendak ke kamar.
"Kak Ai, aku capek jadi bisa 'kan nggak ganggu aku?" tanya Alina malas.
Ainina hanya membiarkan adiknya masuk. Ia tahu kalau Alina tengah terkesal entah karna hal apa. Yang jelas, indra perasa miliknya berkata kalau ini menyangkut privacy yang hanya dirinya seorang yang tahu.
Ia paham jika masa pubertas yang akan menginjak ke arah dewasa membuat kelabilan diri semakin menjadi. Apalagi adiknya Alina. Yang sejak usia dini tertinggal kasih sayang dari seorang ayah. Membuat beban pikirnya sedikit terganggu.
Sekalipun Ai ingin tahu hasil UNBK yang dilalui sang adik kemarin, tapi untuk hari ini sepertinya tidak. Ia mesti sedikit bersabar untuk menghadapi adiknya.
Masalah nilai kelulusan, Ai teringat kelanjutan studi sang adik. Kiranya cara apa yang dapat menolongnya untuk tetap lanjut kejenjang perguruan tinggi sana.
Biaya mahal dengan kondisi ekonomi dirinya yang seperti ini.
Ai mendesah. Ia tak sedang mempermasalahkan takdirnya yang tengah susah akibat sepasang kaki yang tak berfungsi dengan benar. Melainkan menyesali dirinya yang belum mampu mencari pekerjaan untuk membantu kebutuhan rumah yang juga berarti membiarkan bundanya kembali menjadi buruh cuci keliling.
Sebelumnya, setelah jatuh sakitnya bunda di rumah sakit—Ai melarangnya untuk mencari uang, dikarenakan dirinya yang masih bisa menyambung hidup melalui pekerjaan layak yang dimilikinya. Tapi, sekarang semua berbeda sudah.
Dirinya yang tak lagi bisa bekerja pun dirinya yang tak memiliki apa-apa untuk menjadi jaminan. Sebutlah motor matic kesayangannya yang dengan tragis rusak parah akibat kecelakaan yang menimpanya tempo hari. Belum lagi, biaya operasinya yang merelakan emas peninggalan sang ayah jatuh ke tangan penjual. Membuat Ai merasa bersalah dengan bunda. Benda itu satu-satunya warisan yang masih berharga namun bunda dengan relanya menjual.
Ai merasa tak berguna atas pemberian hidup yang sang kuasa beri. Bagaimana setiap helaan napas yang terhembus dalam setiap waktu merupakan karunia terbesar dari-Nya untuk menyambung kehidupan berguna bagi sesiapun makhluk. Apalagi, termasuk dalam kategori makhluk berjenis manusia. Ai rasanya sudah taklagi mampu membandingkan diri dengan segala potensi yang diberi.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓Way of Love to Find Love [Completed]
General FictionRating (R-13+) #53 Highest rank in GenFict 17/05/18-20/05/18 Blurb: Saat takdir mempermainkan kehidupan, tangan Tuhan seolah menggoreskan tinta buruk baginya. Namun siapa sangka, jika yang selama ini yang dianggapnya buruk mampu menuntun ke pencari...