Sepertinya, hari ini begitu terik. Ai izin pada bunda untuk keluar rumah sebentar. Berniat menjelaskan keberatan jumlah nilai yang cukup besar mengalir dalam ATM, yang tentu Ai menolaknya keras.
Bisa-bisanya pak bos itu memberikan jumlah uang yang cukup besar. Gajinya saja dalam satu tahun rasanya tak sampai kalau dihitung keseluruhan. Nah ini, entah angin mana datang memberi secara cuma-cuma.
Kalau benar sebagai kompensasi, Ainina kira tak sampai segitu banyaknya.
Bukan maksud berduga yang tidak-tidak, tapi rasanya hatinya tak enak menerima uang begitu saja.
"Pak, di depan saya berhenti!" kata Ai. Pak sopir menurut, menghentikan taksi lantas membantunya turun menduduki kursi roda.
Ai tersenyum. Mengucap terimakasih usai memberinya ongkos.
"Sama-sama neng," balasnya dengan senyum tak kalah ramah.Bangunan sebesar sepuluh lantai, Ai menatapnya penuh takjub. Ia helakan napas sebelum akhirnya menggerakkan kursi roda setelah taksi yang ia tumpangi pergi. Di arahkannya sampai ke depan lobby. Memberitahu sang receptionist tentang keberadaan sang big boss. Apakah ada di tempat ataukah sedang sibuk?
"Apakah, anda sudah membuat janji sebelumnya?" katanya. Ai mengerut dengan perkataan ketusnya yang seolah berkata bahwa 'kamu nggak serius dan ngaca sebelumnya?' Meski berprasangka buruk itu nggak baik, tapi hati Ai tak bisa dipungkiri bahwa merasakan aura yang demikian bermusuh.
"B-belum mba. Tapi, saya kesini ada urusan penting dengan pak Lio," jelas Ai. Sang resepsionis kembali mengerut dengan pandangan sinis.
"Yang benar saja! Anda tidak sedang bermimpi 'kan?!"
Ai sedikit tersindir dengan perkataan judesnya itu. Apa ia begitu nggak layaknya berada di sini? Padahal, dulu Ai termasuk karyawannya yang meski nggak terlalu terkenal. Tapi sudah beberapa kali ke sini—menyerahkan berkas kantor cabang ke pusat. Apa dia nggak tahu? Atau yah... Okelah sepertinya Ai tak semestinya berada di sini.
"Kalau beliau sibuk, saya akan pergi. Mba nggak usah khawatir," kata Ai berlalu. Meninggalkan tempat yang mungkin bukan saat ini yang tepat.
Hendak saja ia memutar kursi roda keluar lobby. Suara lelaki yang cukup Ai kenal menghentikan lajunya.
"Ainina?!"
Ai berbalik, alisnya menukik terkejut. "Ricko?"
"Ada apa ke sini?"
"Aku. Ada sedikit urusan tadinya tapi nggak jadi."
"Loh kenapa? Kakimu?" terdengar nadanya nampak cemas seusai melihat keadaan kaki Ainina yang mengenakan kursi roda.
Ai menggeleng sekaligus sedikit meringis. Ia menggerakkan bahunya tak mengapa.
"Ini, ahhh kecelakaan kecil saja.""Yang benar saja! Ini termasuk kecelakaan besar lho Ai. Kamu nggak periksa gitu?" kali ini Ricko terlihat kesal bercampur marah.
Ai jelas mengerut. Dia kok bisa tau?
"Aku tau dari Lio. Oh iya katanya ada keperluan kamu ke sini," jelas Ricko melihat raut wajah Ai yang nampak heran.
"Tadinya sih iya. Tapi, kata mba receptionist Lionya nggak ada sedang sibuk," ujar Ai sedikit berbohong. Nyatanya 'kan diusir terang-terangan.
"Loh, aku baru saja dari ruangannya kok sudah nggak ada?" Ricko jelas heran. Ia kan baru saja keluar dari ruangan jadi mana mungkin keluar begitu cepat kecuali kalau Lio punya teleportasi, ah mustahil.
"Nggak tau juga soalnya aku bukan siapa-siapa di sini. Lagian, aku kesini hanya mau menjelaskan tentang kompensasi pekerjaanku."
"Hmmm gitu ya. Kalau mau mari ku antar sampai depan lift," pikir Ricko.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓Way of Love to Find Love [Completed]
General FictionRating (R-13+) #53 Highest rank in GenFict 17/05/18-20/05/18 Blurb: Saat takdir mempermainkan kehidupan, tangan Tuhan seolah menggoreskan tinta buruk baginya. Namun siapa sangka, jika yang selama ini yang dianggapnya buruk mampu menuntun ke pencari...