26. Kenyataan

767 38 0
                                    

Ai merasakannya penuh riang. Bersenang diri tatkala sang bunda memeluknya dengan erat. Memancarkan aura senang yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, hanya bisa ia rasakan di dalam hati saja. Begitu—teramat menggembirakan kabar ini. Melihat sendiri bagaimana keadaan anaknya yang sekarang bisa berdiri dengan tegak tanpa perlu menggunakan kursi roda sebagai penggerak, pengganti kedua kaki yang tadinya tidak berfungsi selama tiga bulan lebih. Mungkin apa yang diyakini hati dan dibarengi usaha itu benar. Anaknya akan sembuh dari kesulitan yang mengekangnya selama ini. Segala hambatan kaki untuk melangkah kini tiada dan Ainina bisa berjalan normal seperti sebelum gelap menimpanya. Bunda menatap Ai penuh haru.

"Bunda nggak nyangka kalau anak bunda ini akan sembuh." Ai balas senyum saat mata itu memperhatikan hal kecil ataupun celah kesakitan yang mungkin masih. "Aku sepenuhnya sembuh bunda. Hanya saja, gerakku tidak boleh terlalu capek dulu."

"Apapun. Apapun itu Ai. Bunda berterimakasih dengan bos mu itu. Dia sekarang di mana? Apa perlu bunda mengajaknya makan kemari sebagai balas? Atau bunda yang harus ke sana memintanya?"

Secepat telinga mendengar, akalnya menangkap maksud semuanya. Berusaha menekan diri hingga desahan napas lelah keluar dari hidungnya. Ai mencoba duduk di kursi ruang tamu ini diikuti bunda di depannya. "Kenapa Nak? Apa bosmu memecatmu?"

Kepalanya menggeleng. "Tidak bunda. Aku—aku hanya merasakan diri bahwa aku tidak pantas."

"Maksudmu nak? Apa hal buruk menimpamu? Katakan saja jika itu membuatmu pusing. Biar kita cari solusinya bersama." Mata dan bibirnya mengukir senyum, mengelus tangan bundanya yang sudah menua. Keriput dibeberapa sisi dan Ai merasakan perjuangan itu. Perjuangan terberat dan terbesar sebagai seorang ibu sekaligus single parent di saat usianya masuk perkuliahan. Ai saat itu ingin mengundurkan diri saja untuk tidak melanjut dan membiarkan beasiswa yang pernah ditawarkan seorang guru untuk diserahkannya. Namun dengan tegas bunda menolak keputusan Ai. Hingga kesulitan menghimpit dan keadaan membuat mereka menghemat, Ai berusaha sekeras yang dimampu untuk menyelesaikan bangku perkuliahan tanpa membuat ibunya kepayahan apalagi menanggung biaya sekolah adiknya. Ai rasa, ia harus bisa membagi waktu antara ke kampus dan bekerja part time. Walau bunda sempat melarang Ai kerja, Ai dengan tekad kuat memberi bunda pengertian.

Keadaan tersebut dilakunya terus menerus hingga lulus sebagai sarjana diusianya yang menginjak 22 tahun dan sekarang, sudah menginjak umur 23 tahun. Ia rasa, saatnya untuk membahagiakan, menggantikan tugas bundanya untuk merawat serta menjaga ibu dan adiknya, Alina. "Tidak usah repot. Ini masalah Ai dan persoalan kecil saja. Bunda enggak perlu khawatir sama Ai. Karena Ai yakin, Ai pasti akan melalui ini."

Bunda hanya tersenyum menatap Ai yang juga tersenyum. "Maaf... maafkan bunda jika selama ini hidupmu terkekang Ai."

"Enggak bunda. Bunda enggak salah. Kita diciptakan untuk saling menghargai dan melengkapi satu sama lain bun. Jadi hilangkan rasa bersalah bunda."

Bunda yang kembali haru, membawa Ai dalam pelukannya lagi. Mengelus punggung putri sulungnya dengan penuh lembut. Menghiraukan sosok yang sudah masuk ke dalam rumah dengan mimik kesal.

"Alina...." Ai sudah melepas pelukan dari bunda. Kini matanya menatap Alina yang sudah pulang dari kuliahnya. "Kau sudah pulang."

Bunda tanpa tahu perasaan Alina yang masih terdiam kesal dan ingin pergi malah mengajaknya untuk mengucapkan selamat kepada Ainina, kakak kandungnya. "Ada apa sih bunda?"

"Kau lihatlah dulu nak kakakmu."

Alina dengan langkah ogah mendekati Ai yang tengah tersenyum menatapnya. "Alina. Bagaimana kabar kampusmu dik? Enggak ada yang berani ngebully adik kakak ini 'kan?"

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang