30. Menyalur Sulur

677 33 0
                                    

Seseorang mencegatnya dalam kelit ini. Menawar sebuah bantuan tanpa masalah. Tetapi sekali lagi, setelah semua yang terjadi di dalam hidupnya bukankah menerima bantuan dari orang lain sama saja membiarkan diri percaya dengan bualan kosong? Sementara kakaknya saja tak ia dengar rupa apa merelakan ia terikat? Tetapi dipikir pun ada benarnya. Mungkin, keputusannya kali ini agak beresiko tinggi tetapi, apa ia sanggup untuk menjalani kehidupan yang nampak terasing bagi orang tak dianggap?

***

Semalaman kemarin, Ai sudah memutuskan diri untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Memantapkan hati dengan langkah siap yang ia pergunakan untuk menjalankannya sampai ke depan ruang. Bu Rika seperti biasa menatap Ai sinis begitu menanyakan keberadaan sang bos. Ai balas senyum manisnya berbanding dengan Rika yang mendecih. Okelah, ancaman kemarinnya itu gagal akibat temannya Lio--Ricko melihatnya di kejauhan sana dan membalikkan ancaman untuk melaporkan hal tadi. Ia yang tak mau ambil pusing hanya mengiyakan sampai mereka kembali berdekat dan Rika hanya memendam rasa kebenciannya.

Tapi, lain waktu mungkin ancaman itu akan kembali berlaku setidaknya sebelum Lio tahu. Lihat saja nanti Ai, matanya melirik tajam Ai yang sudah masuk ke dalam ruangan Lio.

"Ya?"

Ai susah payah menetralkan dirinya yang gemetar, rasa aneh di dadanya entah mengapa begitu menyiksa. Ingin segera mengeluarkan keinginannya kemari namun hanya bisa berdiri kaku di hadapannya.

"Katakan Nona Ainina? Apa ada sesuatu dari pekerjaanmu?"

Nada itu datar. Sangat bahkan lebih dari kemarin. Terdengar juga ketegasannya. Mungkin, kekecewaan semalam belumlah berkurang malahan melebihinya. Ai sudah berusaha agar berdiri tegak tanpa getar menguasai. Namun sayang, sepatah kata pun belum keluar padahal ia menyiapkan ini sebelumnya dengan kemantapan menggebu.

"Nona Ainina yang terhormat! Saya tidak lagi membuang waktu untuk anda bukan?" kembali, terdengar demikian. Ai mengembus lelah, menimalisir getaran di dalam diri dan mencoba berucap.
"S-saya... S-saya... Saya, maaf Pak Lio yang terhormat, dengan ini saya mengundurkan diri dari perusahaan bapak," ujar Ai akhirnya meski kepalanya menatap ke arah meja berpelitur cokelat di depannya.

"Itu saja tidak ada yang lain?"

Ingin rasanya Ai membalas pertanyaan Lio. Tentu pak, 'kenapa Pak Lio jadi sedingin dan sedatar ini? Apa sebelumnya sifat aslinya seperti ini? Tapi kenapa dan bagaimana bisa? Apa karena kejadian semalam pak? Tapi, apa bapak tahu kalau itu kesalahan besar? Bapak belum tahu benar kalau saya banyak memiliki kekurangan dan masih perlu pembelajaran lagi. Lagi pula, diri ini sudah banyak berhutang budi. Dari pekerjaan, penyembuhan, sampai akhirnya diberi posisi enak di perusahaan bapak. Dan soal perasaan, saya belum bisa mengartikan benar pak. Lanjutnya, setelah bapak mengungkap, hati ini terasa aneh. Hangat dan berdesir kencang bak turun dari atas ke bawah. Terasa seperti melakukan uji nyali. Hingga sekarang, saya enggak menampik mengenai itu pak. Hanya saja ini benar-benar belum benar.'

"Nona Ainina?"

Bahkan, kata-kata yang diucapkan oleh Lio terasa seperti orang asing. Terlalu kaku, mendatar tanpa menurun.

"Iya pak Lio hanya itu. Saya minta maaf atas semuanya. Permisi," ujarnya terakhir kali sebelum menutup pintu dengan manahan tangis yang entah mengapa terasa menyiksa.

Lio memandang kepergian Ai dengan mendesah penuh berat.

"Maafkan aku Ai. Aku tidak ada niatan untuk berkata sedemikian rupa. Hanya saja, hati ini terlalu sakit mendengar penolakan semalam," gumam Lio menjambak rambutnya frustrasi.

Bu Rika mendapati sosok Ai tengah menahan isak setelah keluar dari ruangan pak Lio. Bibirnya berkedut senang. Ia pikir, kejadian buruk menimpa Ai saat ini. Poor Ainina! Kau mendapat tulahmu!, batinnya membisik senang.

Ai membereskan peralatannya yang dibawa ke kantor ini. Tidak banyak. Hanya kalender yang sudah ditumbuhi coretan merah olehnya sebagai pengingatnya untuk jadwal rutin pengecekan serta jam beker yang ia pasang di sudut meja sebagai pengingatnya kalau lupa waktu untuk menengok jam tangan. Helaan beratnya mengiringi Ai saat memasukkannya ke dalam tas kerja miliknya yang berukuran sedang. Kepalanya mendongak sebentar ke atas. Mengurangi titik-titik dari mata yang lolos tanpa keinginan Ai--hanya hatinya saja yang mengungkap demikian. Dihapusnya dengan tissu yang berada di atas meja, lantas beranjak pergi. Meninggalkan perusahaan yang sudah membesarkan minat Ai selama ini.

"Ainina? Ini masih jam kantor bukan?"

Ricko berpapasan dengan Ai yang akan keluar dari pintu lobby. Mau tidak mau Ai hanya tersenyum kecil. "Aku sudah tidak bekerja di sini lagi. Permisi." Ai berlalu karena tidak ingin memperpanjangnya. Ia terlalu lelah untuk hari ini.

Ricko hanya memandang aneh Ai yang sudah menjauh. "Pasti ada sesuatu. Apalagi, matanya nampak memerah seperti habis menangis. Lio? Mungkin dia tahu penyebab ini," gumamnya lantas menuju ruangan Lio.

"Lio, kulihat Ai tadi keluar kantor. Apa kau sudah memecatnya? Tega sekali kau!" geram Ricko saat masuk ke ruangan Lio. Lio yang masih terpusing hanya mendesah lelah. Mengekor Ricko duduk di atas sofa, di sampingnya. "Dia sudah resain hari ini."

"Ap-pa?"
"Dia sudah resain Ricko!"
"Ini pasti karena kelakuanmu itu kan Lio?!" tuduh Ricko yang nyaris tepatnya. Lio hanya menunduk, mengepalkan kedua tangannya tanpa suara. "Iya, mungkin," berdesis lelah, menyalahkan diri.

"Ya ampun! Bagaimana bisa? Lalu kalian buat kontrak kerja kan? Bukannya bisa dituntut jika belum usai?"

"Dia sudah tidak terikat Ricko. Kontrak kerja yang kuajukan sebatas 6 bulan. Tepatnya sebelum aku merasakan kehangatan ini. Sebelum kebodohan perasaan buta ini. Cinta memanglah indah namun tatkala jatuh, sakitnya tiada tanding. Lebih baik kupilih patah hidung dibanding hati."

Ricko terkekeh, mencela Lio yang nampak naif. "Lio, Lio. Kau ini memang terlalu to the point. Seharusnya, sebelum melangkah jauh kau pikirkan matang-matang lalu di setting dengan benar jika sudah maka lakukanlah hal tersebut dengan baik. Di tempat istimewa berbau hal romantis atau kau perlu sedikit waktu untuk pendekatan. Menyiapkan semuanya dengan manis. Aku jamin deh kalau seperti itu wanita mana pun akan luluh. Kecuali kamunya yang oon."

"Huh... Entahlah Rick. Aku terlalu pusing. Memikirkan kerumitannya saja sudah mumet maka kupilih jalan pintas. Mengungkap langsung tanpa perlu setting hanya aba-aba mental yang sudah kusiapkan jauh hari."

"Berapa lama memangnya hatimu sudah mantap?" kata Ricko memicing.

"Dua hari yang lalu," desahnya.
"Saat ibumu meminta menantu darimu?" balas Ricko tergelak begitu wajah masam dari Lio nampaklah jelek.

"Sial! Enggak usah buka kartu juga bisa kan?"

"Huh... Lagian siapa juga yang mau jadi bangkotan abadi kayak lo?!"

"Wahhh kebangetan deh lo Rick. Mentang-mentang sudah punya istri makin ke sini makin asyyemmm. Ngehina pake enggak bener lagi. Kak Keyla lo tahu kan? Dia tuh kakakku yang umurnya lebih tua dibandingku yang masih muda dan unyu-unyu. Ngalahin unyunya masha and the bear. Kau tau kan? Aku tipe orang cuek dan cenderung menganggap hal demikian remeh temeh. Namun anehnya, takdir seolah menjungkir balikkan fakta. Bahwa hati yang sudah memegang prinsipnya beberapa tahun lalu itu seketika kembali. Aku saja tidak menyangka jika aku sudah kembali terjebak dalam perasaan ini. Dua kali dan tidak lebih aku terjatuh beratasnamakan cinta. Kau tahu? Kali ini kurasa sangat tidak mengenakkan."

Ricko menghela napasnya. Masalah Lio yang di hadapi sekarang, jauh lebih rumit. Bahkan, dirinya bisa tahu kalau kali ini kebodohannya tengah tertumpuk. Ayolah, hidup bukan sekadar cinta semata. Tetapi pun kedamaian di jiwa. Apalah guna jikalau merasa cinta tapi jiwa terikat beban? Aishh. Pemikirannya semakin kacau.

"Ahhh gini aja deh. Mendingan urus kerjaan aja deh Lio dibanding mikirin Ai-mu itu. Bukankah deadline pekerjaanmu sedang diburu client?!" ada senyum cela di bibir Ricko. Lio yang kemudian menyadari, meneplak jidatnya dengan pelan. "Sial! Kau benar! Gara-gara kehadiranmu Rick. Ahh, sudah sana pergi!" usir Lio mempersilahkan Ricko keluar dari ruangannya.

"Wahhh ceritanya ngusir temen nih? Ya udah ya udah, aku pergi!"

Seperginya Ricko, pikiran Lio kembali dipenuhi Ainina. Gadis itu rupanya tengah menguasai akal pikir. Bagaimana kepolosan, ketulusan dan kegigihannya membuat Lio merasa... hangat. Kehangatan yang belum pernah didapat bahkan setelah mengenal Leona sang mantan. Apa ini? Hati Lio membersit dan segera dilupakannya untuk menyelesaikan tugas kantor yang belum usai.

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang