3. Keputusan

3.1K 94 7
                                    

Kamar itu beraroma maskulin. Tercat rapih dengan sepuan warna abu-abu dan ubin bercorak kayu. Itu semua tak ada arti bila saja bukan saksi bisu tentang betapa besarnya keputusan yang ia ambil dengan lapang, menerima sebuah jabatan penting di perusahaan sang ayah. Mengingat ia yang tak sanggup atau mampu untuk mengelolanya seorang diri—ini semua semata-mata karena keterpaksaan. Alhasil sehari setelahnya, ia telah memantapkan hatinya untuk memilih dan berhenti berkarir menjadi seorang guru di sekolah. Sekolah yang baru dijajakinya lima bulan itu harus berakhir. Tepat seminggu setelah titah sang ayah diumumkan, ia membuat surat pengunduran diri. Tersedih, tentu saja.

Menjadi seorang guru merupakan cita-cita mulia yang ia idam-idamkan sejak kecil sampai kini. Tak lain bila ia ingin menjadi seorang guru yang mampu mencerdaskan penerus bangsa dan memberikannya bekal untuk menjadi generasi yang pintar nan membanggakan di masa depan. Namun, semuanya pupus sudah. Ayahnya terlalu egois untuk memintanya pindah ke karir yang sama sekali tak pernah terbayang di benak atau pun angan akan meneruskan tahta sang ayah.

Dipikir Keylalah yang menampuk meneruskannya. Bukan sebab apa, hanya saja ia sama sekali tak mempunyai pengalaman apapun dibidang ini. Ya, sebuah pengalaman. Kalau belajar, ia pernah belajar bisnis oleh ayahnya dikala ia berumur 18 tahun saat memasuki semester pertama kuliah pendidikan. Ingat sangat ingat di memorinya. Awalnya ia menolak karena ingin fokus ke mata kuliah. Tapi, ayahnya bersikuku agar ia masuk ke les bisnis selama satu tahun. Alih-alih ia menolak namun, dirinya tak bisa menolak kala sang ayah mengancam untuk tidak memberinya fasilitas lengkap lagi jika membantah. Alhasil ia mengikut hingga kuliahnya diundur menjadi satu tahun setelahnya. Dirinya sempat terbingung akan maksud sang ayah itu. Tapi kini, semuanya jelas jika inilah tujuan sang ayah memasukkannya ke les bisnis tersebut.

Tok...tok...tok...

"Den, tuan, nyonya, dan mba Keyla sudah menunggu aden diruang tamu!!" Di balik pintu Bi Ijem sang pembantu setengah berteriak agar tuan mudanya mendengar perintah yang diterima sang empu rumah.

Ia yang tengah berdiri di kaca rias melirik. Di sana menampilkan bias seorang pria bertubuh tegap dengan memakai stelan jas serta dasi yang melilit leher dan celana bahan yang menggantung sempurna di kaki jenjangnya. Dahinya mengernyit, aneh. Tentu saja. Ia hanya sekali mengenakan pakaian formal, itupun saat dirinya diwisuda. Sedang mulai detik ini dan seterusnya ia akan mengenakan pakaian kaku nan membosankan?

Baiklah, mungkin ini yang terbaik baginya maupun keluarganya.

"Baik Bi!" Katanya sedikit berseru.

Bi Ijem yang mendengar sahutan, mengangguk mengerti. Mungkin, tuan mudanya ini tengah mempersiapkan dirinya hingga memutuskan untuk beranjak.

"Baiklah Bibi undur diri," katanya sambil berharap jika tuan mudanya itu seorang amanah yang bisa meneruskan tahta sang tuan besar dengan baik dan benar. Tanpa ada halangan dan rintangan besar seperti yang tuan besarnya alami. Ia bukan sok tahu. Bekerja selama 20 tahun di rumah besar ini, membuatnya mengenal baik karakter dan sifat dari tuan mudanya itu. Apalagi, dulu ia pernah mengasuhnya. jadi bisa dipastikan bagaimana keadaan Lio yang sebentar lagi resmi menjadi seorang penerus tahta. Tak sampai itu, ia juga mengerti ini merupakan sebuah keputusan besar yang diambil Lio. Mengingat guru adalah sebuah profesi yang diimpikannya sejak kecil. Dan baru sempat beberapa bulan mengajar, ia harus melepaskannya begitu saja. Ia kembali berdoa semoga tuan mudanya bisa menghadapi semuanya dengan baik dan benar.

Di balik pintu, ia sekali lagi menatap bayangannya di cermin. Kepalanya menggeleng, kalau-kalau wujud yang ada di depannya ini adalah bukan dirinya ia harap seperti itu. Tapi, wajah, tubuh, dan tatapan itu adalah miliknya semua. 

"Its ok. Let's begin!" Katanya menyemangati diri dengan senyum tipis.

Tuk..tuk..tuk...

✓Way of Love to Find Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang