Part 22 : Dua kumbang bimbang (1)

6.3K 213 0
                                    


Banyaknya kilatan yang terpancar jauh dari langit sana, membabi-buta menyambar daratan yang diiringi suara gemuruh yang mampu mendengungkan telinga. Angin dan hujan pun tak mau kalah untuk mempertunjukan kebolehan mereka, dengan bercampur menjadi satu, mereka menghempaskan banyak dedaunan yang ada pada batang-batang pohon besar. 

Aku pikir aku sedang menonton acara national geographic, nyatanya aku melihat itu semua secara langsung dari kantin sekolah. Jam pulang telah berlalu 20 menit yang lalu, tadinya aku sedang janjian dengan Willa di sini, tapi tiba-tiba mamahnya menelponnya untuk cepat pulang. 

Belum sempat mengambil ancang-ancang untuk beranjak, cuaca sudah berubah drastis seakan-akan tidak memperbolehkanku untuk keluar dari area kantin ini. Kelihatan sekali aku sedang dilanda kebosanan, karena berkali-kali aku menggeserkan tempat dudukku dari sisi kiri ke sisi kanan hingga menimbulkan suara decitan di lantai. Ditambah lagi aku tidak mengenal siapa-siapa yang ada di dalam kantin ini.

Tak puas dengan segelas mocha hangat yang sekarang berubah menjadi dingin, aku kembali memesan segelas hot mocha, namun lebih tepatnya mendidih, karena ibu kantin menuangkan air yang baru mendidih ke dalam segelas mocha itu. Aku pikir cuaca ini akan bertahan sampai satu sampai dua jam yang akan datang. Brrr.. handphoneku bergetar tepat di atas meja kantin. Terlihat nama Yugo muncul dalam layar handphone. 

Butuh waktu lebih dari 10 detik untukku tetapkan keputusan, aku mengalami konflik batin untuk mengangkat atau tidak telpon dari Yugo itu. Dengan sekali hembusan nafas yang terbilang berat, tanganku menekan tanda accept

"Hallo?" 

"Hai, Je. Lo lagi di mana?" 

Susah untukku mendengar suara Yugo karena efek suara dari hujan angin ini. 

"Gue di kantin sekolah Kak. Sorry gue gak bisa denger suara lo dengan jelas. Emangnya ada ap.." 

Belum sempat melanjutkan perkataanku, telpon darinya sudah terputus. 

"Wah gawat sinyal gue hilang!" kataku dengan menggoyang-goyangkan handphone ke udara. 

Entah mengapa kebiasaanku ini selalu saja dilakukan, padahal aku sudah mengetahui dari beberapa pakar tekhnologi bahwa sama sekali tidak ada pengaruhnya dengan menggoyang-goyangkan handphone ke udara, kita akan mendapatkan sinyal yang bagus.


Sejak Yugo menelponku tadi, tanda tanya besar masih menghinggapi kepalaku. Mengapa ia tiba-tiba menelpon? Mengapa ia tiba-tiba menanyakan keberadaanku? Mengapa ia hari ini berbeda dengan ia kemarin? Seperti kataku sebelumnya cowok itu sungguh membingungkan. Disaat aku sedang dibuat senang karena perlakuan baiknya kepadaku, dia hanya menganggap hal itu adalah hal biasa, atau dia tiba-tiba menjauh seperti kemarin. 

Namun disaat aku sedang mempedulikan semua tentangnya, tiba-tiba dia datang kepadaku tanpa memberi satu tanda pun. Apakah para cowok tak tau betapa pentingnya perlakuan mereka yang mereka tunjukkan kepada kaum hawa? Memang sebuah poin minus, bila cowok itu tidak tau apa-apa mengenai perasaan seorang cewek yang ada di dekatnya. Apakah cewek itu menyimpan perasaan kepadanya atau tidak?! Karena hal itu pun, para cewek tak bisa begitu saja menyalahkan mereka, karena mereka bukan mind reader ataupun gesture reader.


Hari ini bukan hanya Yugo yang membuatku sakit kepala, tapi Genta juga ikut-ikutan membentur-benturkan kepalaku ke dinding berkali-kali. Seperti biasanya aku selalu lebih dulu yang hadir dalam kelas. Namun kali ini berbeda, tepat di belakang bangkuku sudah ada Genta yang sedang membaca novel karangan Agatha Christie yang berjudul Hercule Poirot and The Greenshore Folly. Dengan tenaga dan semangat yang masih tinggi, aku menyapanya dengan nada ceria, lalu mengacak-acak rambutnya. 

"HAI TAAA?!" Dia tidak langsung merespon sapaanku, dia malah hanya melihatku dengan berkedip beberapa kali. 

"Hmm hai Je." Setelah itu dia menghindari kontak mata denganku, ia pun mengalihkan pandangannya ke novel itu lagi. Aku ambil novel itu dari tangannya, lalu mencondongkan wajahku ke wajahnya. 

"Ta! Kok tumben banget lo dateng jam segini?" tanyaku dengan senyum yang merekah. 

"So.. sorry.. Je. Gue mau ke kantin dulu." 

Mulutku yang masih menganga, dan mata yang masih terbelalak, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat barusan. Aku seperti bukan bertemu dengan sosok Genta barusan. Biasanya kalau aku mengagetkannya, dia akan membalasku dengan mencubit pipi atau tanganku, atau dia akan mengucapkan kata-kata yang sarkas kepadaku. Anehnya lagi, dia baru kembali ke kelas, tepat saat jam masuk sekolah berbunyi. Dia hanya tersenyum kepadaku, lalu melemparkan pandangannya, lagi. 

Bukan hanya jam masuk sekolah, pada jam istirahat, dan jam pulang sekolah pun begitu. Aku sudah menanyakannya langsung kepada Genta, tapi dia seperti sedang menghindar dariku. Aku juga menanyakannya kepada Zike dan Nika, mungkin saja mereka berdua tau apa ada yang salah dengan Genta, tapi mereka berdua tidak merasakan hal yang sama. 

Yang paling membuatku bingung adalah, Genta hanya bersikap aneh kepadaku, tidak dengan yang lain. Maksud dan tujuanku untuk janjian dengan Willa di kantin ini adalah untuk mendiskusikan hal ini, karena saat tadi di kelas, masih ada Genta yang sedang mengasingkanku. 

"Sebenernya mereka lagi kenapa sih?!

Aku mengacak-acak rambutku yang memang sudah berantakan karena tertiup angin tadi. Aku tidak sadar kalau ibu kantin sedang memperhatikanku yang sudah bertingkah gila. Duduk sendirian di sudut kantin, berkali-kali menyandarkan kepala di meja. Aku pikir iced mocha bisa mendinginkan pikiranku yang sedang terkena nyala api yang membara. 

Untuk ketiga kalinya, aku memesan segelas mocha, kali ini dengan banyak es batu, Mungkin ibu kantin itu berpikir bahwa aku sedang mengalami putus cinta atau aku mendapati nilai pelajaranku yang hancur. Padahal aku hanya memikirkan tingkah cowok yang selalu berubah-ubah dan itu semua sudah membuatku kepalaku meledak.

Tepat disaat tegukan pertama iced mocha yang larut ke dalam tenggorokan, terasa sensasi dingin yang mejalar sampai ke kerongkongan. Beberapa kali suara petir terdengar keras sekali. Entah sampai kapan aku akan terjebak di sini. Payung saja, aku tak membawanya. 

"JE??" teriak seseorang memanggil-manggil namaku. 

Padahal dari tadi aku berada di sini, tak ada satupun siswa atau siswi yang aku kenal, masa tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama panggilanku?! 

"Woi Je??" sebuah tepukan memaksaku untuk menegakan kepala dan menoleh ke arah sumber suara itu. 

"Lo gue panggil-panggil dari tadi." 

Lalu Yugo duduk di hadapaku. Dia menaruh tasnya yang sudah basah di samping ia duduk. Sudah kubilang, suara angin ini memengaruhiku untuk tidak mengenalinya suara Yugo. 

"Seragam lo basah kuyub." 

Aku merogoh isi tasku untuk menggapai jaket berwarna hitam yang baru aku beli minggu lalu. Untung saja aku membelinya dengan ukuran L, mungkin jaket ini akan pas di tubuh Yugo. 

"Gak usah Je, nanti jaket lo basah." 

Dia menolaknya dengan dengan tangan kanannya yang sedang mengacak-acak rambutnya yang basah. 

"Karena lo basah, gue suruh lo pake jaket ini. Lagian anginnya juga kencang banget. Pokoknya pake aja, jangan nolak." 

Aku tak sadar betapa tegasnya aku mengucapkan semua perkataan itu dari mulutku sampa-sampai Yugo terbelalak, lalu tak ada pilihan untuk tidak mengambil jaket itu. 

Setelah memakai jaketku, untuk beberapa saat Yugo hanya berani memandangiku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan seperti ini yang aku inginkan kali ini, ini hanya menambah rasa bingungku kepadanya, karena sudah membolak-balikan perasaanku.


Next Part 23

*Terima kasih masih mengikuti ceritaku ini dan maaf banget baru sempat publish hari ini

*Kalau ada kritik dan saran bisa langsung komen ya, vote nya juga boleh. See u.. dua minggu lagi^^

Because of HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang