Kejadian di kantin kemarin masih terbayang jelas di dalam kepalaku. Yugo yang biasanya ramah kepadaku, hanya sudi melirik ke arahku tanpa berkata 'hi' seperti sebelumnya yang ia lakukan jika bertemu denganku. Ingatan tentang Yugo itu terus-menerus muncul sampai-sampai aku tidak menyadari keberadaan Willa yang sudah ada di depanku.
"Will, lo ngagetin gue aja. Kapan lo dateng?"
Pertanyaanku tidak direspon olehnya. Dia malah menepuk jidatku dengan keras.
"Aw! Lo kenapa sih?!" Aku mengelus-elus jidatku.
"Lo yang kenapa?! Gue dari 5 menit yang lalu udah duduk di sini, tapi lo diem aja kayak lagi di alam lain."
Dia menepuk jidatku lagi, tapi tak sekeras sebelumnya.
Sepertinya unek-unek yang ada di kepalaku ini harus aku bagi dengan Willa, mungkin saja Willa tau apa yang sebenarnya terjadi kemarin. Aku mengambil ancang-ancang dengan melihat ke seluruh penjuru kelas ini. Aku tak mau bila ada orang yang mendengar, apalagi Genta, karena dia termasuk salah satu saksi bisu atas peristiwa kemarin.
Ditemani dengan harum dari sebungkus roti rasa blueberry yang dimakan oleh Willa, aku menjelaskan kejadian yang ada di kantin kemarin secara rinci. Mulai dari tiba-tiba hujan sampai Yugo yang tiba-tiba dingin sedingin air hujan.
"Ya ampun.. gue kira kenapa. Cowok-cowok itu emang kayak gitu Je. Lo gak usah ambil pusing tentang tingkah laku mereka. Gue kasih tau nih, cowok itu kalau lagi kumpul bareng-bareng kayak gitu, pasti pura-pura sok cool. Nanti kalau cuma ada temen-temen deketnya kayak Oka dan Nico, ya balik lagi sifatnya kayak biasa."
Mendengar perkataan Willa, aku malah menaikkan satu alisku. Kalau dipikir-pikir lebih jauh, perkataan Willa mungkin ada benarnya juga. Sedekat apapun aku dengannya, Yugo itu tetap cowok paling popular di sekolah ini. Wajar saja kalau dia bersikap seperti itu saat ia sedang bersama teman-teman persekumpulannya.
"Pusing kan mikirin cowok?" tanya Willa dengan mencubit pipi kananku.
Lalu aku membalasnya dengan anggukan.
Ini bukan kali pertama aku dibuat bingung oleh tingkah seorang cowok. Dulu waktu aku masih duduk di bangku SMP, aku sempat menyukai seorang cowok yang mengkuti ekstrakulikuler seni budaya. Walaupun dia tak sepopuler Yugo, tapi ia cukup banyak yang melirik karena ia selalu tampil dengan memainkan segala alat musik ataupun ikut bernyayi disaat sekolah sedang mengadakan suatu event.
Aku tidak terlalu mempedulikan perasaanku kepadanya, karena terpintas bahwa aku hanya mengaguminya saja. Jadi dengan memandanginya dari jauh itu sudah membuat hatiku senang. Aku sempat merasakan sentuhan tangannya saat aku dan dia sama-sama sedang membeli air mineral. Jika memang sebatas kagum, aku tak perlu merasa berdebar-debar tak karuan seperti ini disaat ibu kantin salah memberikan kembalian. Seharusnya kembalian uang itu untukku, tapi ibu kantin malah memberikan itu padanya.
"Ini punya lo." Ia memberikan dua lembar uang seribu kepadaku.
Ketika tangannya bergesekan dengan tanganku, debaran jantung semakin tidak karuan. Akhirnya aku hanya mengucapkan terima kasih tanpa melihat matanya dan melarikan diri ke tengan kerumunan siswa-siswi lain.
2 minggu berselang, aku semakin merasa bahwa aku benar-benar menyukainya. Willa pun memberitahukanku bahwa ia akan tampil bersama temanku dari kelas lain. Dia akan bernyanyi sementara temanku akan memainkan gitar akustik.
Aku tidak harus menjadi seperti cewek-cewek itu yang berkerumun membentuk pagar tepat dihadapannya. Aku tidak perlu melambaikan tangan ataupun bersorak-sorai memanggil namanya dengan lantang. Aku hanya bisa berdiri jauh dari belakang. Mendengar alunan musik yang ia kumandangan yang seirama dengan suara merdu yang diciptakan dari pita suaranya. Senyum kecil tersimpul begitu saja di wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of Him
RomanceBerawal dari siswa-siswi yang tak saling mengenal, antara lain Jefanka dan Yugo. Mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah waktu yang tak terduga. Kejadian demi kejadian membuat mereka dekat dan sesuatu hal yang tak diharapkan terjadi, tumbuh...