Alarm berbunyi dua kali lipat lebih berisik dari ibu-ibu yang sedang memanggil tukang sayur di perumahan. Dengan tangan yang entah meraba apa, aku tak sengaja membanting jam wekerku. Suara bantingan itu lah yang sudah membangunkanku.
"Oh my gosh.. udah pagi?!"
Aku mengambil handuk dan langsung nyebur di bath tube. Siulan angin terdengar dari celah-celah ventilasi kamar mandiku. Suhu dingin langsung merambat ke permukaan air. Dengan sengaja aku mandi dengan tidak menggunakan air panas supaya aku bisa langsung terbangun dari rasa kantukku yang terasa amat berat. Selesai mandi dan berpakaian, aku menyusuri tangga dengan cepat.
"Papaaah ayo berangkat, aku telat..."
"Sayang kamu gak mau sarapan dulu?" tanya mamah.
"Gak deh mah, aku udah telat banget."
Bergegas aku pakai sepatu dengan serampangan. Ikat pinggang dan pita yang aku pakai untuk menguncir rambutku juga terlihat miring. Papah yang melihatku seperti kebakaran jenggot, ikut terburu-buru dan hanya mereput sedikit kopi panasnya. Setelah berpamitan, papah langsung mengendarai mobil dengan cepatnya.
Dengan sok nya aku berkata, "Pah hati-hati, nanti kalo ada polisi gimana?"
"Loh kan kamu yang pengen buru-buru!" sentak papah.
Aku hanya terkekeh untuk merespon sentakan papah.
Aku pun sampai di sekolah dengan selamat tentunya, tapi tidak dengan papah. Papah yang tidak selamat karena yang harusnya langsung ke kantor, akhirnya kembali lagi ke rumah karena papah kelupaan tas kantornya yang berada di kursi makan tadi. Sudah tak peduli lagi dengan bunyi bel sekolah, aku langsung melesat ke kelas bagaikan orang yang sedang dikejar anjing liar.
Sesampainya di depan kelas, aku melihat Willa sedang betengger di pintu kelas, seakan-akan sedang menyamai patung liberty.
"Woi Je tumben banget lo telat, mimpi lo terlalu indah ya sampai-sampai gak mau bangun buat sekolah?" ejek Willa sambil memukul pundakku dengan buku.
"Malah gue lupa mimpi apa gue semalem. Padahal gue udah ngatur alarm tau, Wil!" sambil menjatuhkan tas dengan kesalnya di meja kelas.
Willa hanya menanggapi dengan tertawa. Tak lama kemudian guru datang, dan kami mulai belajar.
Teng teng teng... bel istirahat berbunyi.
Willa langsung menarik tanganku untuk pergi ke kantin.
"Nah, lo mau pesen apa? gue yang pesenin, lo duduk disini aja."
"Gue pesen iced lemonade sama pisang coklat keju deh."
Willa hanya memberi jempol ke arahku dan memesan ke ibu kantin. Aku utak-atik hapeku berharap Yugo memberi kabar, atau berharap Yugo juga ada di kantin. Mataku masih menjelajah isi kantin, dan aku tidak menemukan keberadaan Yugo disana. Sampai aku dan Willa selesai makan, aku tak melihat Yugo sama sekali.
Menyerah dengan situasi dan waktu yang sudah mepet dengan pelajaran berikutnya, akhirnya aku dan Willa memasuki kelas. Selama perjalanan kembali ke ruang kelas pun aku tak melihat Yugo.
"Will, lo duluan ke kelas yaa.. gue ada perlu sebentar," kataku langsung berbalik badan dan tak jadi masuk kelas.
"Lo mau kemana Je? Bel masuk udah bunyi dari tadi."
Pertanyaan Willa tak aku jawab, dengan langah kaki super cepat, aku langsung menuruni tangga, berjalan ke arah kelas XI IPA 1. Beberapa meter mendekati kelas tersebut, aku langsung memperlambat langkah kakiku. Aku persiapkan mataku untuk siaga dan cepat tanggap dalam mencari tanda-tanda kehadiran Yugo.
Aku lihat mulai dari meja guru sampai meja siswa dari ujung kanan ke ujung kiri, aku tak mendapati Yugo disana. Mungkin usahaku kali ini harus aku urungkan, karena aku melihat keberadaan guru matematika yang sedang berjalan menuju kelasku.
Sesampainya di kelas, aku sama sekali tak member perhatian dengan apa yang ditulis di papan tulis. Konsentrasiku terhempas dan buyar, seperti bola billiard yang membentur dinding meja, membentur lagi ke bola lainnya, terus membentur dan tak behenti. Yang aku lakukan saat ini hanya lah mencorat-coret buku.
"Yugo kemana ya?" tanyaku dalam hati.
Bel pulang sudah berbunyi dari tadi, tapi aku masih duduk di tempat semula, sama sekali tak beranjak.
"Je, lo kenapa? Perasaan dari tadi lo ngelamun aja" tanya Willa kepo.
"Oh gak Will, gue lagi capek aja." Aku mulai memberesi buku dan peralatan tulis yang berserakan di meja.
"Gue mau pulang nih, lo mau bareng gak?"
"Gak deh Will, gue nanti aja pulangnya"
"Okay deh gue pulang duluan ya."
Lambaian tangan Willa mengingatkan aku pada malam kemarin, saat Yugo melambaikan tangan kepadaku.
"Ya tuhan, apa aku kangen dia?" ucapku pelan.
Dengan menurunkan kadar kegengsianku, aku pun menghubungi Yugo duluan. Tuuut.. tuuut.. berkali-kali aku menelponnya, berkali-kali itu juga Yugo tak mengangkat telponku.
"Je? Tumben belum pulang?" suara itu berasal dari pintu kelas.
"Eh Genta. Belum nih. Lagi pengen disini aja. Lo sendiri kok belum pulang?"
"Gue abis latihan, dan gue kelupaan sesuatu yang ketinggalan di kolong meja gue."
Genta pun melangkahkan kaki mendekati mejanya, tangannya merogoh ke dalam kolong meja mencari-cari sesuatu. Aku tak tau apa itu, karena ketika ia mendapatinya, Genta langsung memasukannya ke saku celana. Tanpa aku duga, tiba-tiba Genta duduk di kursi sebelahku.
"Lo gak latihan sama Kak Nico?" Pertanyaan Genta langsung buatku pusing.
"Tau deh Ta, bete gue!" aku memutar bola mataku.
"Bete kenapa? Hey walaupun badminton bisa dimainin secara individu, tapi lo juga harus belajar cara bekerja sama dengan orang lain, meski orang itu senyebelin Kak Nico."
Seketika penjelasan Genta membuatku termenung.
"Abisnya gimana, Ta. Gue udah sopan banget buat ngajak dia latihan bareng, tapi sampai sekarang gak ada jawaban apa-apa. Kalau kayak gini caranya, gue gak yakin bakal menang di kompetisi nanti."
Tiba-tiba tangan Genta meraih pundakku. Ia pun tersenyum dan menghela nafas.
"Ini anak yaa!" dia pun menjitak kepalaku.
"Aw.. sakit Ta!" Aku mengelus-elus kepalaku sendiri.
"Lo belum apa-apa udah pesimis. Tingkatin dulu semangat lo. Curahin semua semangat dan kecintaan lo terhadap badminton. Menang atau gak, itu urusan belakangan!"
Mendengar ucapannya, aku langsung tersenyum lebar.
"Ta?"
"hmm?"
"Ta, kok lo manis banget ya kalau lagi ngomong bener kayak tadi."
Entah kenapa pernyataanku itu membuat pipi Genta sedikit merona.
"Apaan sih lo?! Udah ah gue mau pulang. Males gue nemenin lo!"
Dengan langkah kaki yang canggung, ia berjalan kea rah pintu.
"Genta, katanya mau ngajakin pulang bareng?!"
Pertanyaanku tak direspon dengannya, ia malah hanya menengok ke belakang dan tersenyum kepadaku. Untuk beberapa saat Genta membuatku lupa dengan Yugo yang sudah membuatku gelisah selama seharian ini. Tetapi tetap saja aku tidak tau apa yang sedang terjadi dengan Yugo saat ini.
Next Part 17
*Terima kasih banyak bagi kalian yang masih setia membaca cerita ini
*Jika memang ada masukkan baik atau buruk dalam gue membuat cerita ini, bisa langsung komen ya.. dan kalau menurut kalian bagus, bisa di vote. okay-okay!^^
*See you next two weeks~
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of Him
RomanceBerawal dari siswa-siswi yang tak saling mengenal, antara lain Jefanka dan Yugo. Mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah waktu yang tak terduga. Kejadian demi kejadian membuat mereka dekat dan sesuatu hal yang tak diharapkan terjadi, tumbuh...