Part 43 : Waktu yang mulai mempertanyakan

1K 60 5
                                    

Langit yang cerah mendadak memudar menjadi mendung, bak air susu putih yang sudah tercampur air kopi. Bukan hanya mendung, perlahan-lahan turun air hujan jatuh dan menghantam tanah yang menimbulkan petrichor. Petrichor adalah adanya bau di udara yang ditimbulkan ketika hujan turun menghantam tanah yang gersang. 

Dan seseorang yang menyukai bau itupun punya panggilannya sendiri yaitu Pluviophile. Mungkin aku juga termasuk sebagai Pluviophile yang sangat menyukai bau itu ketika hujan turun. Hanya dalam beberapa detik, aku akan menutup mataku dan menghirup nafas panjang-panjang.

"Je?" suara itu membuka mataku.

Aku menoleh dan mendapati Nico sudah ada di belakangku.

"Ini.." dia menyodorkan minuman dalam botol rasa matcha.

Aku raih botol itu dan kembali ke sorot mata semula, yaitu memandangi air yang menghujam tanah.

"Lo lagi ngapain? Ada yang lagi dipikirin?" tanya Nico.


Aku tak menjawab pertanyaannya, aku hanya bisa merspon dengan gelengan kepala.

"Apa jangan-jangan lo mikirin tentang malam ini?" Seakan tak ada dosa, Nico bertanya hal seperti itu yang sebelumnya bahkan aku tak mau memikirkannya sedikitpun.

"Kenapa kakak nanya kayak gitu?" tanyaku yang datar.

Kini giliran dia yang tak menjawab pertanyaan, yang dia lakukan hanyalah memberikan respon gelengan kepala sepertiku tadi.

Sempat ada keheningan di antara kita setelah Nico melayangkan pertanyaan itu. Aku sama sekali tidak bisa berpikir. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Sekali saja aku membuat keputusan yang salah, maka aku akan kehilangan seseorang. 

Dengan kejadian Mamanya Nico tergeletak lemas di rumah sakit itu membuatku semakin berpikir matang-matang. Mana mungkin aku meninggalkan Nico disaat seperti ini, disaat ia sangat membutuhkan seseorang untuk bisa menenangkan dirinya. 

Betapa jahatnya aku, jika aku berani meninggalkannya, padahal sebelumnya Nico selalu ada buatku disaat aku sedang terpuruk sekalipun. Namun disatu sisi lainnya, aku juga tidak bisa merelakan Yugo bertunangan dengan Naura.

Apakah ini yang dinamakan egois?!

Aku memejamkan mata berulang kali, dan aku tak sadar bahwa Nico memperhatikanku sedari tadi.

"Lo gak bisa bohong sama gue Je, gue tau lo lagi mikirin pertunangannya Yugo sama Naura nanti malam."

Disaat itu aku hanya bisa menggigit bibir bawahku dengan kuat.

Aku tidak bisa memberikan respon apapun atas pernyataan Nico itu.


Terjadi keheningan lagi di antara kita, tapi sebenarnya tidak bisa dikatakan benar-benar hening. Aku bersyukur adanya hujan turun meski tak lebat seperti tadi. Mungkin dalam beberapa menit, aku hanya bisa memandangi air-air hujan itu turun, sementara Nico sibuk dengan handphonenya.

Tiba-tiba terdengar suara mobil mengklakson. Aku tak tahu itu mobil siapa, karena aku dan Nico ini sedang berada di halaman belakang rumahku.

Suara-suara manusia yang terdengar semakin lama semakin ramai, mungkin ada lebih dari satu orang. Dan semakin lama juga, aku mengetahui suara itu.

"Hayoo.. ngapain dua-duaan di halaman belakang kayak gini?!" tiba-tiba Oka duduk di tengah-tengah aku dan Nico.

"Lo jangan gangguin orang pacaran kenapa sih!"

Because of HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang